Selasa, 18 Agustus 2015

70 TAHUN INDONESIA MERDEKA. APA PERAN KAMU UNTUK NEGERI INI? (RE-POST)

Tulisan dimuat di Majalah Intimate Telkom edisi Agustus 13 [klik to download]

Kita pasti sering mendengar istilah semangat 45! Atau semangat soempah pemoeda atau semangat sumpah palapa dari patih gajah mada. "Sira Gadjah Mada paptih amangkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gadjah Mada: Lamun huwus kalah Nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tanjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa”. 


Sang mahapatih Gajad Mada mengorbankan jiwa raganya untuk menyatukan nusantara (Indonesia lama), dengan sumpahnya yang terkenal bahwa beliau tidak akan makan buah palapa (symbol kenikmatan) sebelum mampu menyatukan seluruh wilayah nusantara dalam kekuasaan kerajaan Majapahit tempat beliau mengabdikan diri. Apa yang terjadi selanjutnya? Kehidupan pribadinya dipenuhi dengan pengabdian, pengorbanan, perjuangan, jerih payah sampai pada akhirya semua perjuangan itu berbuah kejayaan kejayaan majapahit.
  
Waktu sekolah SD dan SMP pelajaran sejarah mengenalkan banyak sekali kisah-kisah perjuangan yang terjadi pada negeri ini, baik pada masa kejayaan kerajaan-kerajaan yang ada di bumi nusantara dan juga kisah perjuangan bangsa ini berusaha terbebas dari 350 tahun penjajahan bangsa lain.
Pertanyaannya, dapatkan kita merasakan semangat perjuangan, penderitaan, jerih payah tersebut?

Pernahkan kita membayangkan dan mencoba merasakan penderitaan negeri ini selama 350 tahun dalam cengkraman penjajah, hidup dalam penindasan, hidup dalam ketakutan, hidup dalam keputusasaan? Bayangkan sejak kakek kita lahir, kemudian kakek menikah dan lahir orang tua kita dan kemudian kita lahir sampai kita mati tidak pernah tahu dan menghirup udara kebebasan.

Sayangnya belajar sejarah saat di bangku sekolah hanya menyisakan hafalan, yang kadang hanya menjadi momok dan tak tahu kenapa kita mesti belajar sejarah tersebut. Namun, setelah dewasa baru akhirnya kita paham bahwa belajar sejarah akan mendidik kita untuk memiliki semangat juang, pantang menyerah, gigih, membela kebenaran, bekerja keras, tidak memanjakan diri dan menghargai hak orang lain. Masalahnya seberapa besar kita belajar dan seberapa besar kita mampu mengaplikasikannya.
Kini setalah 68 tahun Indonesia merdeka, setelah bangsa ini melewati 350 perjuangan melawan penjajah, apa yang kita lakukan  saat ini, tentu tidak harus mengokang senjata, menghunus bambu rucing, menyusun strategi gerilya! Untuk menghormati jasa nenek moyang, leluhur dan para pahlawan, kita sudah seharusnya melakukan hal-hal baik (positive).

Masih sangat melekat dalam ingatan saya sebuah kata bijak, dan pelajaran yang sangat penting yang diberikan pada waktu saya duduk di bangku Sekolah Dasar, mata pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila). Satu pertanyaan yang singkat dan sederhana, “bagaimana cara kita mengisi kemerdekaan ini?” BELAJAR YANG RAJIN BEKERJA YANG KERAS..

Dirgahayu Republik Indonesia, mari kita isi kemerdekaan ini dengan kerja keras dan pantang menyerah. Apapun profesi kita, cintailah profesi tersebut dengan sepenuh hati. Jika kita cinta penuh pada profesi yang sedang ditekuni, maka profesi tersebut juga akan mencintai kita dengan memberi imbalan finansial yang maksimal. Jangan setengah-setengah dalam menjalani profesi. Tidak ada kesuksesan dalam hidup, yang tidak ditempuh dengan kerja keras. Tidak ada orang yang berhasil dalam hidup, jika hanya berpangku tangan. Semua kesuksesan pasti diawali dengan kerja keras dan kerja cerdas
“Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” – Bung Karno

Banyak hal yang bisa dilakukan dalam mengisi kemerdekaan ini:
1.     BELAJAR
Saya punya keyakinan, ilmu adalah kunci yang akan bisa gunakan untuk membuka gembok persoalan, semakin banyak ilmu semakin banyak jenis kunci yang kita miliki sehingga akan semakin banyak gembok persoalan yang akan dipecahkan. Bayangkan kalau kita ilmunya itu-itu saja, waah bisa-bisa kita selalu mentok oleh persoalan-persoalan yang dating silih berganti.
Mengisi kemerdekaan dengan BELAJAR, adalah hal yang paling utama. Tidak semata pendidikan formal tapi banyak sekali media-media pembelajaran yang bisa gunakan untuk mendapatkan ilmu dan mendapatkan pengalaman sebagai KUNCI kehidupan. Sekarang ini kita sudah boleh berbangga, karena took buku selalu ramai dikunjungi dan panjangnya antrian di kasir, khususnya di kota besar. Intinya semakin banyak Ilmu, semakin banyak peran yang bisa kita berikan untuk bangsa ini. Jangan tanyakan apa yang sudah diberikan Negara untukmu, tapi tanyakan apa yang sudah kau berikan untuk negaramu
2.    BERKARIR
Bagi anda yang sudah dewasa dan baliq khususnya laki-laki berkewajiban untuk mencari nafkah. Bekerja dan berkarir ternyata tidak semata mencari nafkah, lebih dari itu berkarir adalah berkontribusi dan dedikasi.
Dalam dunia profesional pekerjaan, tentu Anda memiliki Job deskription, punya KPI, punya Target yang terukur dengan jelas. KPI, Target, Job Desk adalah PERAN YANG HARUS ANDA JALANI dalam perusahaan tempat kita bekerja. Atas peran tersebut Anda dibayar. Semakin besar peran, biasanya semakin besar gajinya, semakin banyak kesempatan berkarir dan semakin banyak kesejahteraan. Peran dari masing-masing karyawan akan menjadi peran akumulatif bagi orang lain.
3.    TERJUN KE DUNIA SOSIAL
Mengabdikan diri untuk kepentingan sosial adalah pilihan bijak untuk mengisi kemerdekaan. Banyak sekali dunia sosial yang bisa dipilih untuk saling berbagi antar sesama umat manusia terlebih kita ini saudara sebangsa. Melakukan aktivitas bukan semata untuk mengejar materi, tapi untuk kepentingan sesama. Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang berarti tidak bisa hidup tanpa ada manusia lain disekitarnya.
4.    MENGGELUTI OLAHRAGA
Mengharumkan nama bangsa Indonesia dengan prestasi olahraga. Banyak atlet bulu tangkis yang mampu mengibarkan bendera merah putih di kancah dunia. Terakhir adalah prestasi ganda campuran Liliyana Natsir-Tontowi Ahmad dan juga ganda putra Mohammad Ahsan-Hendra Setiawan pada Kejuaraan Dunia Bulu Tangkis 2013, Indonesia mampu merebut predikat juara dunia.
Olahraga saat ini tidak hanya sekedar untuk menyehatkan tubuh saja. Olahraga juga dimanfaatkan untuk ajang berkomunitas antar sesama pecintanya. Bagaimana semangat berolahraga pada kaum muda saat ini? Rasanya sudah mulai berkurang, jauh lebih rendah dibandingkan saat kita masih kecil dulu. Nongkrong di mall, di cafĂ© dengan teman-teman serasa lebih menyenangkan dari pada harus bermandikan keringat saat berolahraga. Padahal selain menjadikan tubuh sehat, olahraga juga dapat menjauhkan diri dari kegiatan-kegitan yang dapat merusak kesehatan seperti narkoba dan bisa mengarumkan nama bangsa. Berolahraga tidak harus mahal sampai mengeluarkan uang yang banyak, jogging adalah olahraga yang paling murah dan sangat menyehatkan. Mens sana in corpore sano – Didalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat.
5.    BERPOLITIK
Mungkin terjun untuk berpolitik bukanlah sebuah pilihan, namun paling tidak anak muda itu harus menyimak kondisi politik di negerinya sendiri. Walau tidak mengerti soal politik itu sendiri, dengan hanya menyimak perkembangan politik yang terjadi paling tidak dapat menggugah rasa prihatin akan kondisi negeri ini. Syukur-syukur mau terjung langsung dengan niat yang tulus dan punya idialisme, kelak bisa memperbaikan kondisi buruknya politikus saat ini (meskipun tidak semua, tapi mayoritas).
6.    BERWIRA USAHA
Semakin sulitnya lapangan pekerjaan dan semakin tinggi kompetisi diperlukan people dengan kapasitas yang mumpuni untuk bisa bersaing dalam dunia karir. Di satu sisi saat ini semakin gencar pemerintah menggalakkan wirausaha mandiri, bukan mencari pekerjaan tapi mampu menciptakan pekerjaan. Banyak pelajaran yang bisa diambil dalam berwirausaha. Berwirausaha akan mengajarkan bagaimana menjadi seorang pemimpin yang baik, mengatur segala sesuatunya dengan terstruktur, berani ambil resiko, belajar mandiri, dan lain-lain. Selain itu dengan berwirausaha atau membangun sebuah usaha, secara tidak langsung kita telah membantu dalam mengurangi pengangguran yang terus bertambah setiap tahunnya.
7.    NGE-BLOG
Anda yang hobi menulis, bercerita, ngobrol, rasanya kegiatan nge-Blog cukup efektif bisa menjadi pilihan. Apa yang Anda tuturkan akan turut berperan dalam membuka cakrawala, berbagi informasi dengan orang banyak, sekaligus secara tidak langsung dengan nge-Blog kita telah menjadi bagian dari unsur media. Banyak hal yang bisa kita share kepada orang lain, apa yang kita ketahui dan kuasai itu sudah bisa menjadi topik dalam blog kita. Harapannya tulisan kita berguna bagi pembaca. Tanpa berharap imbalan, hanya berniat berbagi ilmu “sekaligus narsis” hal ini bisa dikategorikan dalam mengisi kemerdekaan. Ibarat seorang guru, blogger berarti termasuk pahlawan tanpa tanda jasa.
Untuk mengisi kemerdekaan PERAN APA YANG ANDA AMBIL?
Keberadaan seorang manusia akan nampak karena peran yang dia lakukan bagi lingkugan sekitar. Dan pada dasaranya, Tuhan menciptakan mahluk hidup karena mereka diadakan untuk memilliki peran bagi yang lain. Lihatlah, seekor cacing diciptakan oleh Tuhan, selain sebagai makluk hidup dia memiliki hak untuk hidup, namun dalam alam semesta dia memiliki peran sebagai hewan yang akan menggemburkan tanah sehingga subur untuk ditanami.
Sekarang coba Anda perhatikan, apakah ada satu hal-pun yang bisa kita dapatkan dan kita nikmati tanpa peran orang lain? nggak ada. Kita nggak bisa nangkap ikan sendiri kan untuk makan siang kita? kita nggak mungkin juga menanam padi sendiri untuk mendapatkan nasi yang bisa kita nikmati. hampir semua yang menempel di tubuh kita, yang kita kenakan atau yang kita makan, atau yang kita gunakan untuk beraktivitas seperti kendaraan, gadget, dan perkakas lainnya, ada dan kita nikmati karena ada orang lain yang berperan. Yaa... setiap orang ataupun makluk Tuhan semua ada peran masing-masing.
Selain peran-peran tersebut di atas, dalam hal-hal kecil, misalnya kegiatan event, tengoklah apakan Anda berperan di sana. Dalam kegiatan meeting? apakah Anda Berperan di sana? dalam kemacetan di Jalan, apakah Anda berperan di sana?
Intinya, dalam setiap kesempatan, dimanapun kita berada... silahkan selalu dilihat, Apakah saya berperan?
Peran ini, selain akan membuat ilmu kita bertambah dan pengalaman, juga akan menanam benih hutang budi atau tabungan energi positif. Pengalaman jelas akan membuat hidup kita akan mudah, sedangkan tabungan energi positif akan membuat hidup kita dipenuhi keberuntungan dan selamat dari kesialan
 
Salam Smartlife
Joko Ristono

Selasa, 11 Agustus 2015

SIX GOLDEN WORD


Di acara briefing Pagi ini kami dapat motivasi luar biasa dari owner kami, Bapak Gunadi.  

Dalam hidup keseharian, dalam pekerjaan, dalam berumah tangga sering kali kita menjadi orang yang menyebalkan, menjadi orang yang tidak menyenangkan di mata orang lain. Sayangnya, memang kita ditakdirkan dengan ego, sifat keakuan, cenderung mementingkan diri sendiri.
 

Tanpa sadar, kita sering menggunakan kata “SAYA” dalam berkomunikasi. Kita sering lupa mengucap terimakasih, bahkan sering kali memutuskan segala sesuatu tanpa meminta pendapat kepada orang lain. Hal – hal yang sepertinya kecil ini, faktanya membuat kita menjadi orang yang tidak menyenangkan. Tentu kita tidak mau menjadi demikian. Sebaliknya kita ingin menjadi orang yang menyenangkan, mejadi orang yang enak diajak bicara, menjadi inpirasi bagi orang yang ada disekitar kita.
 
Tentu tidak mudah, tapi paling tidak ada beberapa upaya yang kita bisa lakukan untuk menjadi lebih, upaya yang sederhana tapi sulit untuk dilakukan. Six golden word, enam kata-kata emas ini bisa kita coba terapkan dalam kehidupan sehari-hari atau dalam pekerjaan.
 
The six Golden Word:

  1. What can I do for you?
  2. Congratulation on jobs Well done
  3. What is your Opinion?
  4. Would your mind?
  5. Thank You
  6. We
What can I do for You? (6 kata)
Selalu ucapkan, apa yang bisa saya bantu pada orang lain. Hal ini akan membuat kita dihargai oleh orang lain, kita akan menjelma sebagai orang yang peduli, orang yang care, orang yang ringan tangan dan sudah tentu orang akan respect pada kita. What can I do for you
Congratulation on jobs well done (5 kata)

Seseorang akan senang dengan apresiasi. Sekecil apapun hasil kerja orang lain, perhatian dan apresiasi akan membuatnya dihargai, membuatnya lebih semangat dan senang hatinya. Apa susahnya kita memberikan perhatian dan memberikan ucapan tulus tentang hasil kerja orang lain? Sangat mudah bagi kita tapi BESAR dampaknya bagi orang lain.
What is your opinion (4 kata)

Meminta pendapat orang lain adalah bentuk penghargaan. Meminta pendapat juga bentuk dari ke-tidakego-an kita. Orang yang diminta pendapat akan senang dan dihargai karena dilibatkan untuk sumbang pikiran. Sebaiknya bukan basa basi, tapi dengarkan dengan baik pendapat dia, dan konfirmasi kenaa dia menyampaikan pendapat itu. Syukur-syukur pendapat dia diterima dan dijalankan. Menjadi orang yang menyenang tidak susah kan… hanya bertanya “apa pendapat Anda??”
Would your mind (3 kata)

Salah satu hal yang menyenangkan di mata orang lain adalah sikap SOPAN kita. SIkap menghormati dan menghargai. Dalam Bahasa jawa NGUWONGKE (meng-orangkan). Rasanya kita juga akan sangat senang dan lega ketika diorangkan, ketika orang lain menganggap kita ada, meminta ijin kepada kita. Saat itu kita menjadi orang yang berguna dan penting. Katakan selalau “bolehkan saya??? “ apakah anda berkernan??? Apakah Anda tidak keberatan??

Salah satu bentuk kesopanan kita, dan kita perlu bersyukur lahir di negara Indonesia dengan budaya ketimurannya yang santun. Jadi hal di atas tidaklah susah untuk kita lakukan..
Thank You (2 kata)

Selau mengucapkan terimakasih. Orang jepang selalu mengucapkan “Otsukaresamadesu” dalam setiap kesempatan bertemu dengan orang lain, awal perjumpaan atau perpisahan. Kata tersebut mengandung makna “maaf sudah merepotkan” / “terimakasih mau berinteraksi dengan saya”. Mereka juga selalu menyampaikan kata terimakasih dengan tulus. Yang sangat unik adalah, dalam budaya jepang, mereka akan mengucapkan terimakasih kembali atas kejadian terkahir waktu yang lalu. Terimakasih minggu lalu kamu membantu saya, terimakasih bulan lalu kamu sudah ajak makan saya…. Wuih luar biasa, mengungkapkan kembali rasa terimakasih atas kejadian lalu, mungkin si orang tersebut juga sudah lupa akan kebaikan yang dia lakukan, tapi dingatkan kembali.

Mudah kan mengucapkan terimakasih??
We (1 kata)

Selalu gunakan kata kita, bukan saya. Keberhasilan yang Anda lakukan adalah keberhasilan yang terjadi karena peran orang lain. Kata ‘I” / saya adalah kata yang tidak penting dalam berkomunikasi, jadi selalu gunakan kata KITA (we) untuk menyampaikan pernyataan. Dengan demikian kita akan menjadi orang yang mampu menekan ego dan tidak sombong.

Jadi bagaimana? Mudah kan menjadi orang yang menyenangkan? Secara teori mudah memang, dalam prakteknya perlu dilatih dan dibiasakan.
 
SELAMAT MENCOBA, Terimakasih
 
Salam Smart Life
Joko Ristono

Rabu, 05 Agustus 2015

Presiden Penakluk Puncak Tertinggi

Pada acara muktamar NU ke-33 di Jombang, ada sebuah moment menarik yang membuat saya tertarik untuk menuliskan ini. Yaitu ketika Presiden Jokowi membungkuk hormat kepada Ibu Sinta Nuriyah Wahid, Istri dari Presiden keempat Indonesia Alm Gus Dur.
A picture is worth a thousand words. Sebuah potret sempurna dari cerminan Islam Nusantara. Seorang Presiden, orang nomer satu, pemimpin ratusan juta rakyat Indonesia, dengan ramah dan senyum santun membungkuk hormat kepada orang yang lebih tua. Dengan songkok dan sarungnya, sangat khas Nusantara dan (mungkin) jarang akan kita temukan di negara lain sekalipun negara yang mendeklarasikan diri sebagai negara Islam.
Adab menghormati orang yang lebih tua adalah bagian dari syariat agama Islam. Bukan hal yang luar biasa, memang sudah seharusnya, namun hal ini menjadi nampak baru karena memang jarang sekali kita lihat. Jangankan sekelas Presiden, bahkan orang yang sedikit kaya, atau katakanlah paling kaya di suatu desa, jarang sekali yang masih mau menundukkan kepalanya terhadap yang lebih tua.
Namun tidak cukup sebagai pemandangan tidak biasa, malah lebih mengkhawatirkan lagi, karena sebagian orang malah mengutuk sikap menghormati orang lebih tua seperti yang pernah dilakukan oleh Presiden Jokowi terhadap Ibu Megawati, Presiden ke-5 RI. Sungkem atau cium tangan itu kemudian dinilai salah, dianggap jongos dan sebagainya.
Hal yang membuat saya cukup prihatin dan miris adalah; karena yang menyalah-nyalahkan, meledek dan bahkan menstempel Presiden Jokowi sebagai babu adalah mereka yang mengaku kader dakwah, bahasanya sok lebih mengerti Islam sehingga dengan entengnya mengkafir-kafirkan orang lain. Andai mereka memang bersyahadat, luar biasa sekali iblis mempengaruhi iman dan otak manusia hanya dengan sedikit emosi kekalahan di masa lalu. Saya jadi semakin mengakui kepandaian iblis, tidak heran dia berhasil mengelabuhi Nabi Adam.
Bagi Jokowi, Megawati adalah sosok yang memberinya jalan untuk menjadi Walikota Solo, Gubernur Jakarta hingga Presiden Republik Indonesia. Selain lebih tua, Megawati adalah orang yang sangat berjasa dalam hidup seorang Jokowi. Jadi sungkem atau cium tangan seharusnya bukanlah sesuatu yang patut disalahkan, karena sudah sangat sesuai dengan syariat Islam.
Saya saja kalau bertemu dengan orang tua teman, sekalipun baru pertama, meskipun sama sekali belum memberi pengaruh apa-apa, saya tetap sungkem. Apalagi dengan orang tua teman perempuan, secara pribadi rasanya harus sungkem. Buat kamu para perempuan dan kebetulan bertemu dengan orang tua teman lelaki (gebetan), sungkemlah, atau kamu akan segera diblack list dari daftar calon menantu idaman. Hehe.
 
Muktamar NU ke 33. Sumber: Piyunganonline
Solidaritas Pendaki Gunung
Saya pernah mendaki Semeru dua kali, gunung yang juga pernah didaki Presiden Jokowi saat masih muda. Dari pendakian tersebut saya belajar banyak hal tentang solidaritas dan rendah hati. Gunung yang tinggi menyampaikan pesan bahwa diri ini sangatlah kecil dan tidak ada apa-apanya, hutan belantara yang mencekam mengajarkan kita menurunkan ego dan keangkuhan. Ketika berada di gunung, setiap orang harus saling menjaga, tolong menolong serta responsif. Entah itu pada yang lebih tua, lebih muda, ataupun seumuran.
Sikap responsif Presiden Jokowi ini sepertinya sudah tertanam lama, mungkin karena beliau lebih banyak menaklukkan puncak. Beliau pernah tertangkap lensa wartawan menuangkan air ke gelas Megawati, menuangkan air ke gelas Gubernur Jawa Barat Aher, mengoleskan balsem ke kaki KH Hasyim Muzadi yang mengeluh pegal-pegal, saat itu mereka berada di Bandara Madinah, transit penerbangan menuju Jeddah. 
Bagi kalian yang pernah mendaki gunung, saat ada teman yang mengeluh penat, maka harus segera istirahat menunggu dia mampu berjalan lagi. Jika ada yang mengeluh haus, kita harus spontan mengambilkan air yang biasanya disimpan di saku carrier dan sulit dijangkau jika mengambil sendiri.
Tapi ketika Presiden Jokowi menuangkan air ke gelas Megawati, sebagian orang malah menganggapnya babu, jongos dan seterusnya. Padahal itu adalah bentuk solidaritas dengan orang di sekeliling kita. Karena jangankan dengan yang dikenal baik, terhadap yang baru dikenalpun, sebagai orang Indonesia kita harus bersikap seperti itu.
Zaman mungkin memang sudah berubah. Yang beradab nusantara dianggap aneh dan salah. Maka tidak heran jika ada orang hamil yang tidak mendapat tempat duduk di kereta, atau orang tua dibiarkan berdiri sementara anak-anak mudanya asyik duduk min game di gadget terbarunya.
Tapi Jokowi kan Presiden, masa jadi kayak pembantu?! Justru karena beliau Presidenlah kita seharusnya lebih bisa membuka mata. Beliau tidak mentang-mentang Presiden lantas lepas dari kewajiban bersikap sebagai manusia berakhlak. Jika beliau yang Presiden saja masih mau menghormati orang yang lebih tua, menuangkan air ke dalam gelas, responsif saat orang di sebelahnya mengeluh pegal, mengapa kita yang rakyat jelata tidak bisa bersikap seperti itu?
 
Sumber: Tribun
Belajar Hidup Sederhana
Seorang pendaki harus cermat memperkirakan berapa jam perjalanan ditempuh, seberapa berat carriernya dan apa saja yang harus dibawa. Semua itu mengedepankan tujuan utama, yakni keselamatan dan puncak. Pendaki tidak akan membawa sesuatu yang tidak penting. Sederhana. Yang penting bugar dan kuat untuk mendaki.
Setelah menjadi Presiden pun ternyata Jokowi masih menunjukkan diri sebagai petualang sejati. Ketika menginap di Gumaya Hotel Tower Semarang, beliau cukup menjawab temulawak, jus orange belimbing dan tengkleng, saat ditanya minta disediakan apa? Jenis minuman yang mampu sedikit memperbaiki stamina serta menambah energi. Tujuannya adalah sehat dan menyelesaikan pekerjaan.
Tentu saja bak langit dan bumi jika dibandingkan dengan Pak Mantan yang minta semuanya bernuansa biru dan kompour di dalam kamar agar si Bu Mantan bisa memasak telur dadar kesukaan Bapak. Sementara Presiden Jokowi masih dengan jiwa petualangnya, makan apa saja yang penting kenyang, dan terpenting membawa minuman penambah stamina. Kalau pendaki biasanya membawa madu, cokelat dan gula merah.
Pencitraan
Banyak rakyat oposisi menyebutnya sebagai pencitraan. Blusukan dibilang pencitraan. Permintaan sederhana dibilang pencitraan. Padahal pencitraan itu memiliki dua sisi. Pak Mantan dengan permintaan serba biru juga bisa disebut pencitraan. Mencitrakan diri sebagai sosok penguasa yang disambut bak raja biru. Mewah, berkelas, dan luar biasa karena sampai harus disediakan kompor dalam kamar.
Katakanlah itu semua adalah pencitraan, tetap saja pencitraan yang layak ditiru, atau sekurang-kurangnya tidak membuat jengah masyarakatnya yang masih serba kekurangan. Saya pribadi sangat mengapresiasi sikap Presiden Jokowi yang mampu menahan diri untuk tetap sederhana sekalipun beliau sangat mampu untuk sedikit 'manja'.
Memaafkan dan Santai
Saya teringat dengan adegan sungkemnya Jokowi yang saat itu menjadi Gubernur DKI Jakarta kepada Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo. Banyak orang bertanya-tanya apakah itu simbol permintaan maaf seorang Walikota yang ngeyel tidak mau menerbitkan izin pembangunan mall?
“Walikota Solo itu bodoh, kebijakan Gubernur kok ditentang. Sekali lagi saya tanya, Solo itu masuk wilayah mana? Siapa yang mau membangun?” begitu kalimat Bibit Waluyo.
Lalu di kesempatan lain Jokowi dengan santai menjawab “Saya memang bodoh, dari dulu saya itu bodoh. Saya juga heran kenapa rakyat memilih orang bodoh jadi walikotanya sampai dua periode.”
Konflik tersebut memang sempat memanas kala itu dan sudah melibatkan emosi warga Solo. Spanduk besar dibawa bertuliskan "Solo maju karena Jokowi, bukan BW." 
Setahun berlalu, Jokowi datang ke Solo dengan status sebagai Gubernur DKI Jakarta. Bukan lagi sebagai Walikota Solo yang merupakan bawahan Gubernur Jawa Tengah. Sekalipun secara kekuatan Gubernur Jakarta memiliki lebih banyak keistimewaan, namun Jokowi tetap santai dan bisa tersenyum dengan wartawan sekalipun sungkemnya dapat ditafsirkan tidak berhasil meredam amarah Bibit Waluyo yang tanpa sepatah katapun menyapa beliau. BW langsung berjalan di depan dengan kaku, sementara Jokowi berjalan di belakangnya sambil sesekali menyapa wartawan dengan senyumnya.
Bagi yang pernah mendaki, saya yakin ada saja teman yang bersikap menyebalkan, melakukan kesalahan dan sebagainya. Namun kita tetap harus menanggapinya santai agar tetap bisa kembali dengan selamat. Tidak mudah memang, namun hal ini mutlak harus dilakukan. Karena kadang memang ada orang yang emosional serta egois padahal fisiknya lebih lemah, namun tetap saja sekalipun kita lebih kuat, harus bisa sabar dan sopan. Karena seburuk apapun dia tetap teman kita. Begitu juga dengan Jokowi. Saat ditanya wartawan kenapa sungkem? Apakah itu simbol permintaan maaf? Beliau menjawab diplomatis bahwa Bibit Waluyo lebih tua dan pernah menjadi atasannya.
Memang luar biasa. Presiden Jokowi mengajarkan kita untuk tetap sopan dengan yang lebih tua, sekalipun dulunya orang tersebut mencemooh dan mengganggunya. Bisa tersenyum ramah, namun tegas dan sangat berani soal kebijakan publik. Jujur saya belum mampu bersikap seperti itu.
Nekat, Yakin dan Pasrah
Saat dibully karena menuangkan air ke dalam gelas Megawati, beliau tetap menuangkan air ke gelas Aher dalam kesempatan berbeda. Lalu yang terbaru ini beliau membungkuk pada Ibu Sinta Nuriyah Wahid.
Beliau seolah sangat yakin bahwa apa yang dilakukannya sudah benar. Jabatan boleh setinggi langit, namun sikap harus membumi. Tidak kapok untuk tetap sopan dan menunduk terhadap orang yang lebih tua, meskipun beliau Presiden dan orang di depannya adalah rakyat jelata.
Saya juga teringat saat beliau blusukan ke Sinabung dan mengarahkan sendiri lokasi yang ingin dikunjunginya, di luar rencana protokoler yang sudah steril dan diamankan oleh Papampres. Apalagi saat menaiki pesawat komersil ke Singapore untuk menghadiri wisuda anaknya. Sebuah kenekatan yang luar biasa. Saya sendiri sangat mengkhawatirkan keselamatan beliau sebagai Presiden. Mungkin ini pengaruh sering menonton film barat, namun tetap masuk akal jika kemudian terjadi serangan.
Gunung merapi bisa meledak kapan saja, hewan buas seperti harimau dan sejenisnya bisa saja tak sengaja jalan-jalan dan nongkrong di jalur pendakian. Tapi pendaki tetap datang dengan keyakinan dan niat yang kuat untuk melangkah menyapa alam, bertafakur. Begitu juga Presiden Jokowi, beliau tetap datang menyapa masyarakat, mendengar dan melihat secara langsung. Bukan melalui foto-foto atau laporan. Sekalipun beliau pasti tau ada ancaman dan bahaya, tapi seperti seorang pendaki, beliau akan datang dengan segala perlengkapan serta persiapan matang untuk membawa Indonesia ke puncak tertinggi, selayaknya tujuan kedua para pendaki (tujuan utama adalah selamat).
Mungkin itu dulu, rasanya tulisan ini sudah cukup panjang. Sebagai penutup, Tak perlu paham agama dan hafal banyak ayat, anda cukup menjadi orang Indonesia yang memiliki akal dan naluri, untuk sadar dan mengerti bahwa cacian anda terhadap budaya Islam Nusantara yang diterapkan Jokowi adalah sangat salah. Tapi kalau mengaku beragama dan hafal banyak ayat, namun masih menyalahkan, saya juga bingung anda itu makhluk apa sebenarnya? Sementara buat ustad yang termehek-mehek mau meminjam Erdogan setahun saja, sebaiknya beliau membaca lebih banyak lagi soal Erdogan dan Turki. Jangan sampai seperti dulu lagi, sudah membawa nama Allah untuk menggalang emosi (astaghfirullah pengen pilpres lagi), lalu harus menanggung malu karena kurang tabayyun. Harap dicatat, kadang maaf saja tidak cukup untuk menebus kesalahan, lalu sekarang masih berani komentar asal-asalan? #ThinkAgain.
 
Sumber: Tribun

Salam Smart Life
Joko Ristono
Sumber: http://www.kompasiana.com/alanizecson/presiden-penakluk-puncak-tertinggi_55beec19129773f8040abbf8

Hebatnya huruf "T" (baca te)


Hasil gambar untuk huruf t


Tatkala Temperatur Terik Terbakar Terus, Tukang Tempe Tetap Tabah, "Tempe... Tempe...," Teriaknya.

Ternyata Teriakan Tukang Tempe Tadi Terdengar Tukang Tahu.
Terpaksa Teriakannya Tambah Tinggi, "Tahu... Tahu... Tahu...!"

"Tempenya Terbaik, Tempenya Terenak, Tempenya Terkenal," Timpal Tukang Tempe.

Tukang Tahu Tidak Terima, "Tempenya Tengik, Tempenya Tawar, Tempenya Terjelek!"

Tukang Tempe Tertegun, Terhenyak, "Teplak!!!" Tamparannya Tepat Terkena Tukang Tahu. Tapi Tukang Tahu Tidak Terkalahkan. Tendangannya Tepat Terkena Tulang Tungkai Tukang Tempe.

Tukang Tempe Terjengkang Tumbang! Tapi Terus Tegak, Tatapannya Terhunus Tajam Terhadap Tukang Tahu. Tetapi Tukang Tahu Tidak Terpengaruh Tatapan Tajam Tukang Tempe Tersebut.

"Tidak Takut!" Tantang Tukang Tahu.

Tidak Ternyana Tangan Tukang Tempe Terkepal, Tinjunya Terarah, Terus Tonjokannya Tepat Terkena Tukang Tahu. Tak Terelakkan!
Tujuh Tempat Terkena Tinjunya. Tonjokan Terakhir Tepat Terkena Telak. Tukang Tahu Terjerembab.

"Tolong... Tolong... Tolong..." Teriaknya Terdengar Tinggi. Tanpa Tunda Tempo, Tukang Tempe Teruskan Teriakannya, "Tempe... Tempe... Tempe...!"

Tapi Terus Terdengar Tembakan. Tukang Tempe pun Tertembak Tentara Teroris, "Tetetetetetetetetetetetetetet..." Tukang Tempe Terkapar Tertembak. Tukang Tahu pun Tertawa Terbahak-bahak.

Teletai Telitanya. Tapek Tau...!!



Talam Temart Tlife


Joko Ristono

Manusia-manusia Rigid, Akan Sulit Sendiri

Rhenald Kasali

Dalam perjalanan pulang ke Jakarta dari Frankfurt, duduk di sebelah saya salah seorang CEO perusahaan terkemuka Indonesia. Pria berkebangsaan India yang sangat berpendidikan itu bercerita tentang karir dan perusahannya.

Gerakan keduanya (karir dan perusahaannya) begitu lincah. Tidak seperti kita, yang masih rigid, terperangkap pola lama, seakan-akan semua layak dipagari, dibuat sulit. Perusahaan sulit bergerak, impor-ekspor bergerak lambat, dwelling time tidak konsisten. Sama seperti karier sebagian kita, terkunci di tempat. Akhirnya hanya bisa mengeluh.

Pria itu dibesarkan di India, kuliah S-1 sampai selesai di sana, menjadi alumni Fullbright, mengambil S-2 di Amerika Serikat, lalu berkarir di India sampai usia 45 tahun. Setelah itu menjadi CEO di perusahaan multinasional dari Indonesia.

Perusahaannya baru saja mengambil alih sebuah pabrik besar di Frankfurt. Namun karena orang di Frankfurt masih kurang yakin dipimpin eksekutif dari emerging countries, ia membujuk pemasoknya dari Italia agar ikut memiliki saham minoritas di Frankfurt. Dengan kepemilikan itu, pabrik di Frankfurt dikelola eksekutif dari Eropa (Italia).

Solved!

Itu adalah gambaran dari agility. Kelincahan bergerak yang lahir dari fenomena borderles world. Anehnya juga kita mendengar begitu banyak orang yang cemas menghadapi perubahan. Dunia sudah lebih terbuka, mengapa harus terus merasa sulit? Susah di sini, bisa bergeser ke benua lain. Tak ada lagi yang sulit. Ini tentu harus disyukuri.

Serangan Tenaga Kerja

Belum lama ini kita membaca berita tentang kegusaran seseorang yang tulisannya diforward kemana-mana melalui media sosial. Mulai dari berkurang agresifnya angka pertumbuhan, sampai serangan tenaga kerja dari China.

Berita itu di-forward kesana – kemari, sehingga seakan-akan tak ada lagi masa depan di sini. Yang mengherankan saya, mengapa ia tidak pindah saja bekerja dan berimigrasi ke negara yang dipikirnya hebat itu?

Bekerja atau berkarir di luar negri tentu akan menguntungkan bangsa ini. Pertama, Anda akan memberi kesempatan kerja pada orang lain yang kurang beruntung. Dan kedua, Anda akan mendapatkan wisdom, bahwa hal serupa, komplain yang sama ternyata juga ada di luar negri.

Rekan saya, CEO yang saya temui di pesawat Lufthansa tadi mengeluhkan tentang negerinya. “Orang Indonesia baik-baik, bekerja di Indonesia menyenangkan. Kalau diajari sedikit, bangsa Anda cepat belajar. Pikiran dan tindakannya terstruktur. India tidak! Di India politisi selalu mengganggu pemerintah. Irama kerja buruh tidak terstruktur. Pertumbuhan ekonomi terlalu cepat, membuat persaingan menggila. Rakyatnya makin konsumtif dan materialistis.” Kalimat itu ia ucapkan berkali-kali.

Susah? Kerja Lebih Profesional!

Di Italia, guide saya, seorang kepala keluarga berusia muda mengantar saya melewati ladang-ladang anggur di Tuscany, menolak menemani makan siang yang disajikan mitra kerja Rumah Perubahan di rumahnya yang indah. “Biarkan saya hanya makan salad di luar. Saya dilarang makan enak saat mengemudi,” ujarnya.

Kepada putra saya ia mengajari. "Saat bekerja kita harus bekerja, harus profesional, gesit dan disiplin. Cari kerja itu sulit, mempertahankannya jauh lebih sulit. Kita harus lebih kompetitif dari orang lain kalau tetap ingin bekerja," ujarnya.

Di dalam vineyard-nya yang indah, rekan saya menyajikan aneka makanan Italia yang lezat, lengkap dengan demo masak dan ritual mencicipi wine yang dianggap sakral. Di situ mereka berkeluh kesah tentang perekonomian Eropa yang terganggu Yunani belakangan ini. Dan lagi-lagi mereka menyebutkan kehidupan yang nyaman itu ada di Pulau Dewata, Bali dan Pulau Jawa.

Ketika saya ceritakan bahwa kami di Indonesia juga sedang susah, dia mendengarkan baik-baik. “Dari dulu kalian terlalu rendah hati, selalu merasa paling miskin dan paling susah. Ketika kalian sudah menjadi bangsa yang kaya, tetap merasa miskin. Tetapi, saya tak pernah melihat bangsa yang lebih kaya, lebih merdeka, lebih bahagia, dari pada Indonesia.” Saya pun terdiam.

Di Singapura, saya mengirim berita tentang komplain terhadap masalah dollar AS dan ancaman kesulitan pada rekan lain yang sudah lima tahun ini berkarir di sana. Ia pun menjawab ringan, “Suruh orang-orang itu kerja di sini saja.”

Tak lama kemudian ia pun meneruskan. “Kalau sudah kerja di sini baru tahu apa artinya kerja keras dan hidup yang fragile.”

Saya jadi teringat curhat habis-habisan yang ia utarakan saat saya berobat ke negeri itu. “Mana bisa konkow-konkow, main Facebook, nge-tweet di jam kerja? Semua harus disiplin, berani maju, kompetitif, dan siap diberhentikan kalau hasil kerja buruk. Di negeri kita (Indonesia), saya masih bisa bersantai-santai, karyawan banyak, hasil kerja tidak penting, yang penting bos tidak marah saja,” ujarnya.

Saat itu ia tengah menghadapi masa probation atau percobaan. Sungguh khawatir kursinya akan direbut pekerja lain dari India, Turki, dan Prancis yang bahasa Inggrisnya lebih bagus, dan ritme kerjanya lebih cepat. Ternyata bekerja di negeri yang perekonomiannya bagus itu juga tidak mudah. Padahal di sana mereka lihat kerja yang enak itu ya di sini.

Bangsa Merdeka Jangan Cengeng

Saya makin terkekeh membaca berita yang disebarluaskan para haters melalui grup-grup WA, bahwa pemerintah sekarang tidak perform, membiarkan sepuluh ribuan buruh dari China merangsek masuk ke negri ini. Sungguh, saya tak gusar dengan serangan tenaga kerja itu. Yang membuat saya gusar adalah kalau hal serupa dilakukan bangsa-bangsa lain terhadap tenaga kerja asal Indonesia di luar negri.

Penyebar berita kebencian itu mestinya lebih rajin jalan-jalan ke luar negri. Bukankah dunia sudah borderless, tiket pesawat juga sudah jauh lebih murah. Cara menginap juga sangat mudah dan murah. Kalau saja ia rajin, maka ia akan menemukan fakta-fakta ini: Sebanyak 300.000 orang tenaga kerja Indonesia bekerja di Taiwan. 250.000 lainnya di Hongkong. Lebih dari 100.000 orang ada di Malaysia. Selain itu, perusahaan-perusahaan kita sudah mulai mengepung Nigeria, Myanmar, dan Brazil. Bahkan juga canada dan Amerika.

Jadi bagaimana ya? Kok baru dikepung 10.000 saja kita sudah rasis? Ini tentu mengerikan.

Lalu dari grup WA para alumnus sekolah, belakangan ini saja juga mendapat kiriman teman-teman yang kini berkarir di manca negara. Delapan keluarga teman kuliah saya ada di Kanada, beberapa di Jerman dan Eropa, puluhan di Amerika Serikat, dan yang terbanyak tentu saja di Jakarta. Semakin banyak orang kita yang berkarier bebas di mancanegara. Karir mereka tidak rigid.

Jadi, janganlah kita cengeng. Beraninya hanya curhat dan komplain, tapi tak berbuat apa-apa. Bahkan beraninya hanya menyuarakan kebencian. Atau paling-paling cuma mengajak berantem dan membuat akun palsu bertebaran. Kita juga jangan mudah berprasangka.

Syukuri yang sudah didapat. Kecemasan hanya mungkin diatasi dengan berkomitmen untuk bekerja lebih jujur, lebih keras, lebih respek, lebih profesional, dan memberi lebih.

Kalau Anda merasa Indonesia sudah “berbahaya” ya belain dong. Kalau Anda merasa tak senang dengan orang lain, ya sudah, pindah saja ke luar negri. Mudah kok. Di sana Anda akan mendapatkan wisdom, atas kata-kata dan perbuatan sendiri. Di sana kita baru bisa merasakan kayanya Indonesia. Di sana kita baru tahu bahwa tak ada hidup yang mudah. 



Salam Smart Life

Joko Ristono