Rabu, 05 Agustus 2015

Presiden Penakluk Puncak Tertinggi

Pada acara muktamar NU ke-33 di Jombang, ada sebuah moment menarik yang membuat saya tertarik untuk menuliskan ini. Yaitu ketika Presiden Jokowi membungkuk hormat kepada Ibu Sinta Nuriyah Wahid, Istri dari Presiden keempat Indonesia Alm Gus Dur.
A picture is worth a thousand words. Sebuah potret sempurna dari cerminan Islam Nusantara. Seorang Presiden, orang nomer satu, pemimpin ratusan juta rakyat Indonesia, dengan ramah dan senyum santun membungkuk hormat kepada orang yang lebih tua. Dengan songkok dan sarungnya, sangat khas Nusantara dan (mungkin) jarang akan kita temukan di negara lain sekalipun negara yang mendeklarasikan diri sebagai negara Islam.
Adab menghormati orang yang lebih tua adalah bagian dari syariat agama Islam. Bukan hal yang luar biasa, memang sudah seharusnya, namun hal ini menjadi nampak baru karena memang jarang sekali kita lihat. Jangankan sekelas Presiden, bahkan orang yang sedikit kaya, atau katakanlah paling kaya di suatu desa, jarang sekali yang masih mau menundukkan kepalanya terhadap yang lebih tua.
Namun tidak cukup sebagai pemandangan tidak biasa, malah lebih mengkhawatirkan lagi, karena sebagian orang malah mengutuk sikap menghormati orang lebih tua seperti yang pernah dilakukan oleh Presiden Jokowi terhadap Ibu Megawati, Presiden ke-5 RI. Sungkem atau cium tangan itu kemudian dinilai salah, dianggap jongos dan sebagainya.
Hal yang membuat saya cukup prihatin dan miris adalah; karena yang menyalah-nyalahkan, meledek dan bahkan menstempel Presiden Jokowi sebagai babu adalah mereka yang mengaku kader dakwah, bahasanya sok lebih mengerti Islam sehingga dengan entengnya mengkafir-kafirkan orang lain. Andai mereka memang bersyahadat, luar biasa sekali iblis mempengaruhi iman dan otak manusia hanya dengan sedikit emosi kekalahan di masa lalu. Saya jadi semakin mengakui kepandaian iblis, tidak heran dia berhasil mengelabuhi Nabi Adam.
Bagi Jokowi, Megawati adalah sosok yang memberinya jalan untuk menjadi Walikota Solo, Gubernur Jakarta hingga Presiden Republik Indonesia. Selain lebih tua, Megawati adalah orang yang sangat berjasa dalam hidup seorang Jokowi. Jadi sungkem atau cium tangan seharusnya bukanlah sesuatu yang patut disalahkan, karena sudah sangat sesuai dengan syariat Islam.
Saya saja kalau bertemu dengan orang tua teman, sekalipun baru pertama, meskipun sama sekali belum memberi pengaruh apa-apa, saya tetap sungkem. Apalagi dengan orang tua teman perempuan, secara pribadi rasanya harus sungkem. Buat kamu para perempuan dan kebetulan bertemu dengan orang tua teman lelaki (gebetan), sungkemlah, atau kamu akan segera diblack list dari daftar calon menantu idaman. Hehe.
 
Muktamar NU ke 33. Sumber: Piyunganonline
Solidaritas Pendaki Gunung
Saya pernah mendaki Semeru dua kali, gunung yang juga pernah didaki Presiden Jokowi saat masih muda. Dari pendakian tersebut saya belajar banyak hal tentang solidaritas dan rendah hati. Gunung yang tinggi menyampaikan pesan bahwa diri ini sangatlah kecil dan tidak ada apa-apanya, hutan belantara yang mencekam mengajarkan kita menurunkan ego dan keangkuhan. Ketika berada di gunung, setiap orang harus saling menjaga, tolong menolong serta responsif. Entah itu pada yang lebih tua, lebih muda, ataupun seumuran.
Sikap responsif Presiden Jokowi ini sepertinya sudah tertanam lama, mungkin karena beliau lebih banyak menaklukkan puncak. Beliau pernah tertangkap lensa wartawan menuangkan air ke gelas Megawati, menuangkan air ke gelas Gubernur Jawa Barat Aher, mengoleskan balsem ke kaki KH Hasyim Muzadi yang mengeluh pegal-pegal, saat itu mereka berada di Bandara Madinah, transit penerbangan menuju Jeddah. 
Bagi kalian yang pernah mendaki gunung, saat ada teman yang mengeluh penat, maka harus segera istirahat menunggu dia mampu berjalan lagi. Jika ada yang mengeluh haus, kita harus spontan mengambilkan air yang biasanya disimpan di saku carrier dan sulit dijangkau jika mengambil sendiri.
Tapi ketika Presiden Jokowi menuangkan air ke gelas Megawati, sebagian orang malah menganggapnya babu, jongos dan seterusnya. Padahal itu adalah bentuk solidaritas dengan orang di sekeliling kita. Karena jangankan dengan yang dikenal baik, terhadap yang baru dikenalpun, sebagai orang Indonesia kita harus bersikap seperti itu.
Zaman mungkin memang sudah berubah. Yang beradab nusantara dianggap aneh dan salah. Maka tidak heran jika ada orang hamil yang tidak mendapat tempat duduk di kereta, atau orang tua dibiarkan berdiri sementara anak-anak mudanya asyik duduk min game di gadget terbarunya.
Tapi Jokowi kan Presiden, masa jadi kayak pembantu?! Justru karena beliau Presidenlah kita seharusnya lebih bisa membuka mata. Beliau tidak mentang-mentang Presiden lantas lepas dari kewajiban bersikap sebagai manusia berakhlak. Jika beliau yang Presiden saja masih mau menghormati orang yang lebih tua, menuangkan air ke dalam gelas, responsif saat orang di sebelahnya mengeluh pegal, mengapa kita yang rakyat jelata tidak bisa bersikap seperti itu?
 
Sumber: Tribun
Belajar Hidup Sederhana
Seorang pendaki harus cermat memperkirakan berapa jam perjalanan ditempuh, seberapa berat carriernya dan apa saja yang harus dibawa. Semua itu mengedepankan tujuan utama, yakni keselamatan dan puncak. Pendaki tidak akan membawa sesuatu yang tidak penting. Sederhana. Yang penting bugar dan kuat untuk mendaki.
Setelah menjadi Presiden pun ternyata Jokowi masih menunjukkan diri sebagai petualang sejati. Ketika menginap di Gumaya Hotel Tower Semarang, beliau cukup menjawab temulawak, jus orange belimbing dan tengkleng, saat ditanya minta disediakan apa? Jenis minuman yang mampu sedikit memperbaiki stamina serta menambah energi. Tujuannya adalah sehat dan menyelesaikan pekerjaan.
Tentu saja bak langit dan bumi jika dibandingkan dengan Pak Mantan yang minta semuanya bernuansa biru dan kompour di dalam kamar agar si Bu Mantan bisa memasak telur dadar kesukaan Bapak. Sementara Presiden Jokowi masih dengan jiwa petualangnya, makan apa saja yang penting kenyang, dan terpenting membawa minuman penambah stamina. Kalau pendaki biasanya membawa madu, cokelat dan gula merah.
Pencitraan
Banyak rakyat oposisi menyebutnya sebagai pencitraan. Blusukan dibilang pencitraan. Permintaan sederhana dibilang pencitraan. Padahal pencitraan itu memiliki dua sisi. Pak Mantan dengan permintaan serba biru juga bisa disebut pencitraan. Mencitrakan diri sebagai sosok penguasa yang disambut bak raja biru. Mewah, berkelas, dan luar biasa karena sampai harus disediakan kompor dalam kamar.
Katakanlah itu semua adalah pencitraan, tetap saja pencitraan yang layak ditiru, atau sekurang-kurangnya tidak membuat jengah masyarakatnya yang masih serba kekurangan. Saya pribadi sangat mengapresiasi sikap Presiden Jokowi yang mampu menahan diri untuk tetap sederhana sekalipun beliau sangat mampu untuk sedikit 'manja'.
Memaafkan dan Santai
Saya teringat dengan adegan sungkemnya Jokowi yang saat itu menjadi Gubernur DKI Jakarta kepada Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo. Banyak orang bertanya-tanya apakah itu simbol permintaan maaf seorang Walikota yang ngeyel tidak mau menerbitkan izin pembangunan mall?
“Walikota Solo itu bodoh, kebijakan Gubernur kok ditentang. Sekali lagi saya tanya, Solo itu masuk wilayah mana? Siapa yang mau membangun?” begitu kalimat Bibit Waluyo.
Lalu di kesempatan lain Jokowi dengan santai menjawab “Saya memang bodoh, dari dulu saya itu bodoh. Saya juga heran kenapa rakyat memilih orang bodoh jadi walikotanya sampai dua periode.”
Konflik tersebut memang sempat memanas kala itu dan sudah melibatkan emosi warga Solo. Spanduk besar dibawa bertuliskan "Solo maju karena Jokowi, bukan BW." 
Setahun berlalu, Jokowi datang ke Solo dengan status sebagai Gubernur DKI Jakarta. Bukan lagi sebagai Walikota Solo yang merupakan bawahan Gubernur Jawa Tengah. Sekalipun secara kekuatan Gubernur Jakarta memiliki lebih banyak keistimewaan, namun Jokowi tetap santai dan bisa tersenyum dengan wartawan sekalipun sungkemnya dapat ditafsirkan tidak berhasil meredam amarah Bibit Waluyo yang tanpa sepatah katapun menyapa beliau. BW langsung berjalan di depan dengan kaku, sementara Jokowi berjalan di belakangnya sambil sesekali menyapa wartawan dengan senyumnya.
Bagi yang pernah mendaki, saya yakin ada saja teman yang bersikap menyebalkan, melakukan kesalahan dan sebagainya. Namun kita tetap harus menanggapinya santai agar tetap bisa kembali dengan selamat. Tidak mudah memang, namun hal ini mutlak harus dilakukan. Karena kadang memang ada orang yang emosional serta egois padahal fisiknya lebih lemah, namun tetap saja sekalipun kita lebih kuat, harus bisa sabar dan sopan. Karena seburuk apapun dia tetap teman kita. Begitu juga dengan Jokowi. Saat ditanya wartawan kenapa sungkem? Apakah itu simbol permintaan maaf? Beliau menjawab diplomatis bahwa Bibit Waluyo lebih tua dan pernah menjadi atasannya.
Memang luar biasa. Presiden Jokowi mengajarkan kita untuk tetap sopan dengan yang lebih tua, sekalipun dulunya orang tersebut mencemooh dan mengganggunya. Bisa tersenyum ramah, namun tegas dan sangat berani soal kebijakan publik. Jujur saya belum mampu bersikap seperti itu.
Nekat, Yakin dan Pasrah
Saat dibully karena menuangkan air ke dalam gelas Megawati, beliau tetap menuangkan air ke gelas Aher dalam kesempatan berbeda. Lalu yang terbaru ini beliau membungkuk pada Ibu Sinta Nuriyah Wahid.
Beliau seolah sangat yakin bahwa apa yang dilakukannya sudah benar. Jabatan boleh setinggi langit, namun sikap harus membumi. Tidak kapok untuk tetap sopan dan menunduk terhadap orang yang lebih tua, meskipun beliau Presiden dan orang di depannya adalah rakyat jelata.
Saya juga teringat saat beliau blusukan ke Sinabung dan mengarahkan sendiri lokasi yang ingin dikunjunginya, di luar rencana protokoler yang sudah steril dan diamankan oleh Papampres. Apalagi saat menaiki pesawat komersil ke Singapore untuk menghadiri wisuda anaknya. Sebuah kenekatan yang luar biasa. Saya sendiri sangat mengkhawatirkan keselamatan beliau sebagai Presiden. Mungkin ini pengaruh sering menonton film barat, namun tetap masuk akal jika kemudian terjadi serangan.
Gunung merapi bisa meledak kapan saja, hewan buas seperti harimau dan sejenisnya bisa saja tak sengaja jalan-jalan dan nongkrong di jalur pendakian. Tapi pendaki tetap datang dengan keyakinan dan niat yang kuat untuk melangkah menyapa alam, bertafakur. Begitu juga Presiden Jokowi, beliau tetap datang menyapa masyarakat, mendengar dan melihat secara langsung. Bukan melalui foto-foto atau laporan. Sekalipun beliau pasti tau ada ancaman dan bahaya, tapi seperti seorang pendaki, beliau akan datang dengan segala perlengkapan serta persiapan matang untuk membawa Indonesia ke puncak tertinggi, selayaknya tujuan kedua para pendaki (tujuan utama adalah selamat).
Mungkin itu dulu, rasanya tulisan ini sudah cukup panjang. Sebagai penutup, Tak perlu paham agama dan hafal banyak ayat, anda cukup menjadi orang Indonesia yang memiliki akal dan naluri, untuk sadar dan mengerti bahwa cacian anda terhadap budaya Islam Nusantara yang diterapkan Jokowi adalah sangat salah. Tapi kalau mengaku beragama dan hafal banyak ayat, namun masih menyalahkan, saya juga bingung anda itu makhluk apa sebenarnya? Sementara buat ustad yang termehek-mehek mau meminjam Erdogan setahun saja, sebaiknya beliau membaca lebih banyak lagi soal Erdogan dan Turki. Jangan sampai seperti dulu lagi, sudah membawa nama Allah untuk menggalang emosi (astaghfirullah pengen pilpres lagi), lalu harus menanggung malu karena kurang tabayyun. Harap dicatat, kadang maaf saja tidak cukup untuk menebus kesalahan, lalu sekarang masih berani komentar asal-asalan? #ThinkAgain.
 
Sumber: Tribun

Salam Smart Life
Joko Ristono
Sumber: http://www.kompasiana.com/alanizecson/presiden-penakluk-puncak-tertinggi_55beec19129773f8040abbf8

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rabu, 05 Agustus 2015

Presiden Penakluk Puncak Tertinggi

Pada acara muktamar NU ke-33 di Jombang, ada sebuah moment menarik yang membuat saya tertarik untuk menuliskan ini. Yaitu ketika Presiden Jokowi membungkuk hormat kepada Ibu Sinta Nuriyah Wahid, Istri dari Presiden keempat Indonesia Alm Gus Dur.
A picture is worth a thousand words. Sebuah potret sempurna dari cerminan Islam Nusantara. Seorang Presiden, orang nomer satu, pemimpin ratusan juta rakyat Indonesia, dengan ramah dan senyum santun membungkuk hormat kepada orang yang lebih tua. Dengan songkok dan sarungnya, sangat khas Nusantara dan (mungkin) jarang akan kita temukan di negara lain sekalipun negara yang mendeklarasikan diri sebagai negara Islam.
Adab menghormati orang yang lebih tua adalah bagian dari syariat agama Islam. Bukan hal yang luar biasa, memang sudah seharusnya, namun hal ini menjadi nampak baru karena memang jarang sekali kita lihat. Jangankan sekelas Presiden, bahkan orang yang sedikit kaya, atau katakanlah paling kaya di suatu desa, jarang sekali yang masih mau menundukkan kepalanya terhadap yang lebih tua.
Namun tidak cukup sebagai pemandangan tidak biasa, malah lebih mengkhawatirkan lagi, karena sebagian orang malah mengutuk sikap menghormati orang lebih tua seperti yang pernah dilakukan oleh Presiden Jokowi terhadap Ibu Megawati, Presiden ke-5 RI. Sungkem atau cium tangan itu kemudian dinilai salah, dianggap jongos dan sebagainya.
Hal yang membuat saya cukup prihatin dan miris adalah; karena yang menyalah-nyalahkan, meledek dan bahkan menstempel Presiden Jokowi sebagai babu adalah mereka yang mengaku kader dakwah, bahasanya sok lebih mengerti Islam sehingga dengan entengnya mengkafir-kafirkan orang lain. Andai mereka memang bersyahadat, luar biasa sekali iblis mempengaruhi iman dan otak manusia hanya dengan sedikit emosi kekalahan di masa lalu. Saya jadi semakin mengakui kepandaian iblis, tidak heran dia berhasil mengelabuhi Nabi Adam.
Bagi Jokowi, Megawati adalah sosok yang memberinya jalan untuk menjadi Walikota Solo, Gubernur Jakarta hingga Presiden Republik Indonesia. Selain lebih tua, Megawati adalah orang yang sangat berjasa dalam hidup seorang Jokowi. Jadi sungkem atau cium tangan seharusnya bukanlah sesuatu yang patut disalahkan, karena sudah sangat sesuai dengan syariat Islam.
Saya saja kalau bertemu dengan orang tua teman, sekalipun baru pertama, meskipun sama sekali belum memberi pengaruh apa-apa, saya tetap sungkem. Apalagi dengan orang tua teman perempuan, secara pribadi rasanya harus sungkem. Buat kamu para perempuan dan kebetulan bertemu dengan orang tua teman lelaki (gebetan), sungkemlah, atau kamu akan segera diblack list dari daftar calon menantu idaman. Hehe.
 
Muktamar NU ke 33. Sumber: Piyunganonline
Solidaritas Pendaki Gunung
Saya pernah mendaki Semeru dua kali, gunung yang juga pernah didaki Presiden Jokowi saat masih muda. Dari pendakian tersebut saya belajar banyak hal tentang solidaritas dan rendah hati. Gunung yang tinggi menyampaikan pesan bahwa diri ini sangatlah kecil dan tidak ada apa-apanya, hutan belantara yang mencekam mengajarkan kita menurunkan ego dan keangkuhan. Ketika berada di gunung, setiap orang harus saling menjaga, tolong menolong serta responsif. Entah itu pada yang lebih tua, lebih muda, ataupun seumuran.
Sikap responsif Presiden Jokowi ini sepertinya sudah tertanam lama, mungkin karena beliau lebih banyak menaklukkan puncak. Beliau pernah tertangkap lensa wartawan menuangkan air ke gelas Megawati, menuangkan air ke gelas Gubernur Jawa Barat Aher, mengoleskan balsem ke kaki KH Hasyim Muzadi yang mengeluh pegal-pegal, saat itu mereka berada di Bandara Madinah, transit penerbangan menuju Jeddah. 
Bagi kalian yang pernah mendaki gunung, saat ada teman yang mengeluh penat, maka harus segera istirahat menunggu dia mampu berjalan lagi. Jika ada yang mengeluh haus, kita harus spontan mengambilkan air yang biasanya disimpan di saku carrier dan sulit dijangkau jika mengambil sendiri.
Tapi ketika Presiden Jokowi menuangkan air ke gelas Megawati, sebagian orang malah menganggapnya babu, jongos dan seterusnya. Padahal itu adalah bentuk solidaritas dengan orang di sekeliling kita. Karena jangankan dengan yang dikenal baik, terhadap yang baru dikenalpun, sebagai orang Indonesia kita harus bersikap seperti itu.
Zaman mungkin memang sudah berubah. Yang beradab nusantara dianggap aneh dan salah. Maka tidak heran jika ada orang hamil yang tidak mendapat tempat duduk di kereta, atau orang tua dibiarkan berdiri sementara anak-anak mudanya asyik duduk min game di gadget terbarunya.
Tapi Jokowi kan Presiden, masa jadi kayak pembantu?! Justru karena beliau Presidenlah kita seharusnya lebih bisa membuka mata. Beliau tidak mentang-mentang Presiden lantas lepas dari kewajiban bersikap sebagai manusia berakhlak. Jika beliau yang Presiden saja masih mau menghormati orang yang lebih tua, menuangkan air ke dalam gelas, responsif saat orang di sebelahnya mengeluh pegal, mengapa kita yang rakyat jelata tidak bisa bersikap seperti itu?
 
Sumber: Tribun
Belajar Hidup Sederhana
Seorang pendaki harus cermat memperkirakan berapa jam perjalanan ditempuh, seberapa berat carriernya dan apa saja yang harus dibawa. Semua itu mengedepankan tujuan utama, yakni keselamatan dan puncak. Pendaki tidak akan membawa sesuatu yang tidak penting. Sederhana. Yang penting bugar dan kuat untuk mendaki.
Setelah menjadi Presiden pun ternyata Jokowi masih menunjukkan diri sebagai petualang sejati. Ketika menginap di Gumaya Hotel Tower Semarang, beliau cukup menjawab temulawak, jus orange belimbing dan tengkleng, saat ditanya minta disediakan apa? Jenis minuman yang mampu sedikit memperbaiki stamina serta menambah energi. Tujuannya adalah sehat dan menyelesaikan pekerjaan.
Tentu saja bak langit dan bumi jika dibandingkan dengan Pak Mantan yang minta semuanya bernuansa biru dan kompour di dalam kamar agar si Bu Mantan bisa memasak telur dadar kesukaan Bapak. Sementara Presiden Jokowi masih dengan jiwa petualangnya, makan apa saja yang penting kenyang, dan terpenting membawa minuman penambah stamina. Kalau pendaki biasanya membawa madu, cokelat dan gula merah.
Pencitraan
Banyak rakyat oposisi menyebutnya sebagai pencitraan. Blusukan dibilang pencitraan. Permintaan sederhana dibilang pencitraan. Padahal pencitraan itu memiliki dua sisi. Pak Mantan dengan permintaan serba biru juga bisa disebut pencitraan. Mencitrakan diri sebagai sosok penguasa yang disambut bak raja biru. Mewah, berkelas, dan luar biasa karena sampai harus disediakan kompor dalam kamar.
Katakanlah itu semua adalah pencitraan, tetap saja pencitraan yang layak ditiru, atau sekurang-kurangnya tidak membuat jengah masyarakatnya yang masih serba kekurangan. Saya pribadi sangat mengapresiasi sikap Presiden Jokowi yang mampu menahan diri untuk tetap sederhana sekalipun beliau sangat mampu untuk sedikit 'manja'.
Memaafkan dan Santai
Saya teringat dengan adegan sungkemnya Jokowi yang saat itu menjadi Gubernur DKI Jakarta kepada Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo. Banyak orang bertanya-tanya apakah itu simbol permintaan maaf seorang Walikota yang ngeyel tidak mau menerbitkan izin pembangunan mall?
“Walikota Solo itu bodoh, kebijakan Gubernur kok ditentang. Sekali lagi saya tanya, Solo itu masuk wilayah mana? Siapa yang mau membangun?” begitu kalimat Bibit Waluyo.
Lalu di kesempatan lain Jokowi dengan santai menjawab “Saya memang bodoh, dari dulu saya itu bodoh. Saya juga heran kenapa rakyat memilih orang bodoh jadi walikotanya sampai dua periode.”
Konflik tersebut memang sempat memanas kala itu dan sudah melibatkan emosi warga Solo. Spanduk besar dibawa bertuliskan "Solo maju karena Jokowi, bukan BW." 
Setahun berlalu, Jokowi datang ke Solo dengan status sebagai Gubernur DKI Jakarta. Bukan lagi sebagai Walikota Solo yang merupakan bawahan Gubernur Jawa Tengah. Sekalipun secara kekuatan Gubernur Jakarta memiliki lebih banyak keistimewaan, namun Jokowi tetap santai dan bisa tersenyum dengan wartawan sekalipun sungkemnya dapat ditafsirkan tidak berhasil meredam amarah Bibit Waluyo yang tanpa sepatah katapun menyapa beliau. BW langsung berjalan di depan dengan kaku, sementara Jokowi berjalan di belakangnya sambil sesekali menyapa wartawan dengan senyumnya.
Bagi yang pernah mendaki, saya yakin ada saja teman yang bersikap menyebalkan, melakukan kesalahan dan sebagainya. Namun kita tetap harus menanggapinya santai agar tetap bisa kembali dengan selamat. Tidak mudah memang, namun hal ini mutlak harus dilakukan. Karena kadang memang ada orang yang emosional serta egois padahal fisiknya lebih lemah, namun tetap saja sekalipun kita lebih kuat, harus bisa sabar dan sopan. Karena seburuk apapun dia tetap teman kita. Begitu juga dengan Jokowi. Saat ditanya wartawan kenapa sungkem? Apakah itu simbol permintaan maaf? Beliau menjawab diplomatis bahwa Bibit Waluyo lebih tua dan pernah menjadi atasannya.
Memang luar biasa. Presiden Jokowi mengajarkan kita untuk tetap sopan dengan yang lebih tua, sekalipun dulunya orang tersebut mencemooh dan mengganggunya. Bisa tersenyum ramah, namun tegas dan sangat berani soal kebijakan publik. Jujur saya belum mampu bersikap seperti itu.
Nekat, Yakin dan Pasrah
Saat dibully karena menuangkan air ke dalam gelas Megawati, beliau tetap menuangkan air ke gelas Aher dalam kesempatan berbeda. Lalu yang terbaru ini beliau membungkuk pada Ibu Sinta Nuriyah Wahid.
Beliau seolah sangat yakin bahwa apa yang dilakukannya sudah benar. Jabatan boleh setinggi langit, namun sikap harus membumi. Tidak kapok untuk tetap sopan dan menunduk terhadap orang yang lebih tua, meskipun beliau Presiden dan orang di depannya adalah rakyat jelata.
Saya juga teringat saat beliau blusukan ke Sinabung dan mengarahkan sendiri lokasi yang ingin dikunjunginya, di luar rencana protokoler yang sudah steril dan diamankan oleh Papampres. Apalagi saat menaiki pesawat komersil ke Singapore untuk menghadiri wisuda anaknya. Sebuah kenekatan yang luar biasa. Saya sendiri sangat mengkhawatirkan keselamatan beliau sebagai Presiden. Mungkin ini pengaruh sering menonton film barat, namun tetap masuk akal jika kemudian terjadi serangan.
Gunung merapi bisa meledak kapan saja, hewan buas seperti harimau dan sejenisnya bisa saja tak sengaja jalan-jalan dan nongkrong di jalur pendakian. Tapi pendaki tetap datang dengan keyakinan dan niat yang kuat untuk melangkah menyapa alam, bertafakur. Begitu juga Presiden Jokowi, beliau tetap datang menyapa masyarakat, mendengar dan melihat secara langsung. Bukan melalui foto-foto atau laporan. Sekalipun beliau pasti tau ada ancaman dan bahaya, tapi seperti seorang pendaki, beliau akan datang dengan segala perlengkapan serta persiapan matang untuk membawa Indonesia ke puncak tertinggi, selayaknya tujuan kedua para pendaki (tujuan utama adalah selamat).
Mungkin itu dulu, rasanya tulisan ini sudah cukup panjang. Sebagai penutup, Tak perlu paham agama dan hafal banyak ayat, anda cukup menjadi orang Indonesia yang memiliki akal dan naluri, untuk sadar dan mengerti bahwa cacian anda terhadap budaya Islam Nusantara yang diterapkan Jokowi adalah sangat salah. Tapi kalau mengaku beragama dan hafal banyak ayat, namun masih menyalahkan, saya juga bingung anda itu makhluk apa sebenarnya? Sementara buat ustad yang termehek-mehek mau meminjam Erdogan setahun saja, sebaiknya beliau membaca lebih banyak lagi soal Erdogan dan Turki. Jangan sampai seperti dulu lagi, sudah membawa nama Allah untuk menggalang emosi (astaghfirullah pengen pilpres lagi), lalu harus menanggung malu karena kurang tabayyun. Harap dicatat, kadang maaf saja tidak cukup untuk menebus kesalahan, lalu sekarang masih berani komentar asal-asalan? #ThinkAgain.
 
Sumber: Tribun

Salam Smart Life
Joko Ristono
Sumber: http://www.kompasiana.com/alanizecson/presiden-penakluk-puncak-tertinggi_55beec19129773f8040abbf8

Tidak ada komentar:

Posting Komentar