Selasa, 23 Agustus 2016

SAYA BERUNTUNG, BAPAKKU TAK MEMBELIKANKU MAINAN

Saya ingat jaman kuliah tahun 90-an, dimana handpone masih menjadi barang langka, begitu pula dengan internet. Kondisi ini memaksa para mahasiswa termasuk saya harus keluar masuk perpustakaan, tidak hanya di dalam kota, bahkan sampai berburu literatur sampai ke Jakarta. Menempuh Semarang – Jakarta PP hanya untuk mendapatkan beberapa paragraf kalimat penting untuk sumber pustaka. Bagi anak jaman sekarang, mungkin susah membayangkan apa yang dilakukan orang tua mereka di jaman berjuang kala itu. Di mana saat ini mendapatkan berlembar - lembar bahkan mendapatkan puluhan buku (e-book) sekaligus bisa didapat dalam hitungan menit, cukup bermodal koneksi internet dan gadjet. Beda jaman, beda perjuangan dan tantangan.

Saya justru prihatin dengan kondisi serba mudah saat ini, kondisi yang memanjakan anak-anak, termasuk anak-anak saya, mau informasi dan tontonan apa saja dengan mudah mereka tinggal akses ke internet, mau belajar cara menyelesaikan permasalahan yang dia hadapi tidak lagi perlu berpikir, hanya tinggal menggerakkan jarinya di touchscreen. Konon “pahlawan yang hebat hanya akan dilahirkan dari pertempuran yang besar”. Anak-anak saya tidak perlu lagi menghadapi pertempuran yang besar, peralatan perang mereka sangat lengkap, tak perlu lagi membuat bambu runcing, membuat perangkap. Bagaimana mereka akan menjadi pahlawan yang hebat kelak?

Membuat mainan sendiri
Lahir dan besar di kampung, dengan kondisi ekonomi yang biasa-biasa saja, saya dan anak-anak lainnya terpaksa harus kreatif untuk menciptakan dan membuat mainan sendiri. Mungkin pembaca pernah mengalami, membuat mobil-mobilan dari kulit jeruk, membuat senapan dari pelepah pisang, membuat senapan dari bambu, membuat mainan dari tanah liat, dan banyak jenis mainan lain yang kami ciptakan dan mainkan sendiri untuk mengisi dunia anak yang membahagiakan. Betapa senang dan puasnya ketika mainan yang kita ciptakan bisa dimainkan dan jadi favorit temen-temen yang lain.

Tidak hanya mainan yang kami ciptakan, tapi permainan. Jaman saya kecil dulu sudah barang tentu tidak ada Gamewacth, tidak ada PS, tidak ada Nitendo, dan belum ada komputer dan Handphone. Semua mainan digital yang dikenal oleh anak-anak kita saat ini, tidak ada di jaman saya kecil dulu, itulah anak-anak memiliki permainan sendiri, di masing-masing daerah berbeda beda. Ada permain bentengan, gobak sodor, ada main karet, main gundu, permainan benthik, engrang, ketapel, lompat tali, perang-perangan dengan senapan buatan sendiri tadi, dan lain sebagainya.

Semua yang kami lakukan di masa kecil menjadikan kami sebagai anak mandiri, kreatif (terpaksa kreatif), mampi menemukan solusi untuk kebahagiaan kami sendiri.

Begitu melihat anak-anak sekarang, termasuk melihat anak-anak saya, mungkin juga terjadi pada semua anak di kota-kota besar, apa yang kita alami di masa kecil tidak lagi bisa mereka alami. Mereka hidup di jaman serba instan, bahkan pada saat membaca buku, mereka tidak lagi perlu berimajinasi lagi, karena semua cerita sudah divisualkan dalam bentuk gambar. Konon melatih imajinasi akan berperan penting dalam perkembangan kreativitas.

Saya bersyukur Bapak tidak membelikanku mainan
Saya merasa bersyukur, karena kondisi memaksa saya menciptakan mainan sendiri, memaksa saya untuk selalu berimajinasi saat membaca sebuah buku, tidak ada buku cerita bergambar warna warni seperti modul sekolah anak-anak saya, tidak ada youtube yang menceritakan segala hal tanpa perlu berimajinasi. Saya bersyukur karena saya dan temen-temen dipaksa untuk mencari solusi untuk kebahagiaan kami sendiri, sehingga sejak masa kanak-kanak kami sudah berlatih menghadapi masalah.

Seandainya saja orang tua saya kaya dan selalu bisa memenuhi keinginan saya untuk dibelikan mainan, bisa jadi tingkat kreativitas saya tidak seperti saat ini. Saya akan selalu memerlukan bantuan orang lain yang lebih kreatif untuk menemukan ide-ide penjualan sebagai tutunan profesi.

Seandainya saja saya dimanjakan oleh orang tua saya di masa kecil, mungkin saat ini saya menjadi cengeng, mudah menyerah, selalu tergantung pada orang lain. Tapi kami ‘terlatih’ untuk selalu menemukan solusi atas masalah yang kami hadapi. Seandainya di masa kecil saya sudah ada youtube, sudah barang tentu saya tidak akan bisa berimajinasi dan menulis buku berlembar - lembar seperti ini.

Terimakasih kepada Bapak dan Ibu yang tidak memanjakanku, terimakasih telah memaksa kami membuat mainan sendiri, terimakasih telah berkesempatan menjalani masa anak-anak di jaman ‘jadul’.

Kini, saatnya kita sebagai orang tua, memikirkan agar anak-anak kita kelak menjadi orang yang kreatif, mejadi orang yang tangguh, menjadi orang yang mampu bersaing, memiliki semangat juang, semangat kompetisi, mengingat semakin waktu kompetisi akan semakin berat, jauh lebih berat dibanding saat ini.

Apa yang harus dilakukan?? Masing-masing punya cara, yang jelas kita bertanggungjawab dalam membentuk karakter anak-anak kita.

Salam Smart Life
Joko Ristono

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Selasa, 23 Agustus 2016

SAYA BERUNTUNG, BAPAKKU TAK MEMBELIKANKU MAINAN

Saya ingat jaman kuliah tahun 90-an, dimana handpone masih menjadi barang langka, begitu pula dengan internet. Kondisi ini memaksa para mahasiswa termasuk saya harus keluar masuk perpustakaan, tidak hanya di dalam kota, bahkan sampai berburu literatur sampai ke Jakarta. Menempuh Semarang – Jakarta PP hanya untuk mendapatkan beberapa paragraf kalimat penting untuk sumber pustaka. Bagi anak jaman sekarang, mungkin susah membayangkan apa yang dilakukan orang tua mereka di jaman berjuang kala itu. Di mana saat ini mendapatkan berlembar - lembar bahkan mendapatkan puluhan buku (e-book) sekaligus bisa didapat dalam hitungan menit, cukup bermodal koneksi internet dan gadjet. Beda jaman, beda perjuangan dan tantangan.

Saya justru prihatin dengan kondisi serba mudah saat ini, kondisi yang memanjakan anak-anak, termasuk anak-anak saya, mau informasi dan tontonan apa saja dengan mudah mereka tinggal akses ke internet, mau belajar cara menyelesaikan permasalahan yang dia hadapi tidak lagi perlu berpikir, hanya tinggal menggerakkan jarinya di touchscreen. Konon “pahlawan yang hebat hanya akan dilahirkan dari pertempuran yang besar”. Anak-anak saya tidak perlu lagi menghadapi pertempuran yang besar, peralatan perang mereka sangat lengkap, tak perlu lagi membuat bambu runcing, membuat perangkap. Bagaimana mereka akan menjadi pahlawan yang hebat kelak?

Membuat mainan sendiri
Lahir dan besar di kampung, dengan kondisi ekonomi yang biasa-biasa saja, saya dan anak-anak lainnya terpaksa harus kreatif untuk menciptakan dan membuat mainan sendiri. Mungkin pembaca pernah mengalami, membuat mobil-mobilan dari kulit jeruk, membuat senapan dari pelepah pisang, membuat senapan dari bambu, membuat mainan dari tanah liat, dan banyak jenis mainan lain yang kami ciptakan dan mainkan sendiri untuk mengisi dunia anak yang membahagiakan. Betapa senang dan puasnya ketika mainan yang kita ciptakan bisa dimainkan dan jadi favorit temen-temen yang lain.

Tidak hanya mainan yang kami ciptakan, tapi permainan. Jaman saya kecil dulu sudah barang tentu tidak ada Gamewacth, tidak ada PS, tidak ada Nitendo, dan belum ada komputer dan Handphone. Semua mainan digital yang dikenal oleh anak-anak kita saat ini, tidak ada di jaman saya kecil dulu, itulah anak-anak memiliki permainan sendiri, di masing-masing daerah berbeda beda. Ada permain bentengan, gobak sodor, ada main karet, main gundu, permainan benthik, engrang, ketapel, lompat tali, perang-perangan dengan senapan buatan sendiri tadi, dan lain sebagainya.

Semua yang kami lakukan di masa kecil menjadikan kami sebagai anak mandiri, kreatif (terpaksa kreatif), mampi menemukan solusi untuk kebahagiaan kami sendiri.

Begitu melihat anak-anak sekarang, termasuk melihat anak-anak saya, mungkin juga terjadi pada semua anak di kota-kota besar, apa yang kita alami di masa kecil tidak lagi bisa mereka alami. Mereka hidup di jaman serba instan, bahkan pada saat membaca buku, mereka tidak lagi perlu berimajinasi lagi, karena semua cerita sudah divisualkan dalam bentuk gambar. Konon melatih imajinasi akan berperan penting dalam perkembangan kreativitas.

Saya bersyukur Bapak tidak membelikanku mainan
Saya merasa bersyukur, karena kondisi memaksa saya menciptakan mainan sendiri, memaksa saya untuk selalu berimajinasi saat membaca sebuah buku, tidak ada buku cerita bergambar warna warni seperti modul sekolah anak-anak saya, tidak ada youtube yang menceritakan segala hal tanpa perlu berimajinasi. Saya bersyukur karena saya dan temen-temen dipaksa untuk mencari solusi untuk kebahagiaan kami sendiri, sehingga sejak masa kanak-kanak kami sudah berlatih menghadapi masalah.

Seandainya saja orang tua saya kaya dan selalu bisa memenuhi keinginan saya untuk dibelikan mainan, bisa jadi tingkat kreativitas saya tidak seperti saat ini. Saya akan selalu memerlukan bantuan orang lain yang lebih kreatif untuk menemukan ide-ide penjualan sebagai tutunan profesi.

Seandainya saja saya dimanjakan oleh orang tua saya di masa kecil, mungkin saat ini saya menjadi cengeng, mudah menyerah, selalu tergantung pada orang lain. Tapi kami ‘terlatih’ untuk selalu menemukan solusi atas masalah yang kami hadapi. Seandainya di masa kecil saya sudah ada youtube, sudah barang tentu saya tidak akan bisa berimajinasi dan menulis buku berlembar - lembar seperti ini.

Terimakasih kepada Bapak dan Ibu yang tidak memanjakanku, terimakasih telah memaksa kami membuat mainan sendiri, terimakasih telah berkesempatan menjalani masa anak-anak di jaman ‘jadul’.

Kini, saatnya kita sebagai orang tua, memikirkan agar anak-anak kita kelak menjadi orang yang kreatif, mejadi orang yang tangguh, menjadi orang yang mampu bersaing, memiliki semangat juang, semangat kompetisi, mengingat semakin waktu kompetisi akan semakin berat, jauh lebih berat dibanding saat ini.

Apa yang harus dilakukan?? Masing-masing punya cara, yang jelas kita bertanggungjawab dalam membentuk karakter anak-anak kita.

Salam Smart Life
Joko Ristono

Tidak ada komentar:

Posting Komentar