Rabu, 13 Januari 2016

The Power of Dream



Mumpung masih awal tahun, rasanya masih belum terlambat untuk kita menyusun RESOLUSI, menyusun Goals... bukankan sukses diawali dengan penetapan Mimpi... 
Berikut saya copy paste tulisan seorang penulis buku mengenai "power of dream". Semoga bermanfaat:

St.Augustine pernah mengatkan satu hal tentang keyakinan:
“Faith is something you do not yet see, the reward of the faith is to see what you believe”

Saya terjemahkan dalam bahasa sederhana, “Keyakinan adalah sesuatu yang tidak Anda lihat. Hasil dari meyakini adalah melihat apa yang Anda yakini.”

Kutipan dari St.Augustine itu begitu dalam memberikan makna nyata tentang keyakinan, setidaknya dalam kehidupan saya pribadi. Saya, tidak dalam kapasitas sebagai orang bijak seperti St. Augustine, namun berdasarkan pengalaman hidup, saya ingin menambah bahwa “Memiliki sebuah impian yang kuat dan kosistensi berkarya akan membuka jalan-jalan pencapaian yang tidak pernah terpikirkan”

Dalam artikel ini saya ingin berbagi pengalaman, sesuai judul artikel ini, tentang kekuatan sebuah impian (bukan mimpi, tetapi impian).

Sebelumnya saya perlu menyamakan persepsi dulu, bahwa mimpi dan impian yang saya maksud itu berbeda. Mimpi adalah produk ketidak sadaran dan berada di dalam area yang tidak bisa kita kendalikan, misalnya ketika kita sedang tibur. Sedanghkan IMPIAN adalah produk dari keinginan sadar yang ingin kita wujudkan. Jadi mari kita terjemahkan dream yang dimaksud dalam artikel ini adalah impian, bukan mimpi. Ijinkan saya memulai cerita saya ya sobat !

Billboard
Dalam beberapa kesempatan, ketika melihat sebuah billboard, saya pernah berpikir dan bertanya kepada diri sendiri, “Apa yang menjadikan foto seseorang bisa terpampang namplakdalam sebuah baliho atau billboard yang segede gabandi pinggir jalan ini?” tentunya saat itu saya tidak berpikir tentang seseorang yang dengan uangnya mampu menyewa sebuah tempat dan memasang fotonya sendiri seperti kampanye para caleg.Lalu pertanyaan itupun menjadi tertutup dengan pernyataan dalam diri, “Suatu saat, saya layak ditampilkan di billboard atau baliho semacam itu”, meskipun saat itu saya tidak mengerti caranya dan tidak mempunyai peta untuk itu.Pikiran itupun berlalu tanpa jawaban yang pasti. Lalu, baru-baru ini, saya kaget ‘setengah mati’ ketika ada seorang penanggungjawab dari sebuah institusi pendidikan meminta saya mau difoto bersama dengan seorang dosen berkewarganegaraan Amerika yang bertugas di Indonesia. Tujuan dari pemotretan itu adalah sebuah foto besar yang akan dimuat di sebuah billboard di pinggir jalan besar, di titik simpang 6 di kota Semarang, di seberang Paragon Mall. Singkat cerita, pada Selasa, tanggal 4 Juli 2012, saya menyaksikan billboard itu, hampir tidak percaya bahwa yang ada di billboard itu adalah saya.

Jujur, saya bangga menjadi bintang iklan sekarang, setidaknya untuk satu bulan ke depan, foto saya terpampang di sebuah billboard di jalan besar salah satu pusat keramaian di kota Semarang, dimana saya tinggal. Namun bukan perihal kebanggaan itu yang ingin saya ceritakan.

Dulu, sejak mengenal ada aplikasi mainan yang disebut fotofunia, setiap orang bisa bermain-main memilih sebuah gambar dirinya sendiri dan secepat kilat dia bisa membuat foto profil dengan fotonya terpampang di sebuah baliho atau billboard atau di dinding sebuah gedung besar, sedang diperhatikan banyak orang. Namun itu tidak nyata, artinya hanya sebuah rekayasa gambar yang baliho atau billboard yang dimaksud memang tidak ada. Nah kalau dulu bermain fotofunia, sekarang menjadi nyata. Bukan lagi gambar rekayasa tetapi beneran saya sekarang kalau jalan melintasi jalan pemuda, dapat menyaksikan foto dengan billboard ukuran 5×10 meter dan itu adalah foto saya dengan dosen dari Amerika yang tadi saya ceritakan. Jadi sebut saja saat ini saya mulai menjadi bintang iklan.

Saya ingin melanjutkan cerita ini dengan mundur ke belakang perjalanan hidup saya. Maaf, sebut saja agak sedikit narsis dalam hal ini, dan saya tidak akan menyalahkan Anda.

Ceritanya begini:
Tiga tahun silam saya menulis sebuah buku, judulnya Bread for Friends. Buku itu berisi 50 inspirasi yang saya maksudkan memberikan nutrisi mental dan membuat pembacanya kelak mengalami hidup yang progresif. Hal yang saya bayangkan adalah, buku itu akan dibaca puluhan ribu orang dan orang itu membawanya kemana-mana dan buku itu juga diumumkan kepada ribuan orang yang membutuhkan bacaan-bacaan positif untuk perbaikan perspektif kehidupan.

Lalu, waktunya tidak lama berselang, tepatnya setelah dua tahun bekerja keras bahkan ditolak puluhan penerbit, sampai akhirnya jatuh ke penerbit ke-33, draft buku itupun dibukukan dan dalam 3 bulan menjadi buku best seller yang penjualannya melebih apa yang pernah saya bayangkan bahkan saat ini pada bulan ke 13, buku itu masih best seller dan menghasilkan royalti yang jumlahnya jauh lebih besar dari yang saya bayangkan.

Khusus tentang buku pertama saya itu, banyak cerita yang bisa saya ceritakan. Salah satunya adalah ketika duduk di salah satu kursi dalam gerbong kereta, orang di sebelah kita sedang membaca buku yang kita tulis. Perasaan kala itu tidak bisa saya lukiskan dengan kata-kata. Cerita lain adalah orang yang sedang dipenjara, yang sementara diputuskan tidak akan mendapatkan kebebasan, namun bercerita tidak terlalu memikirkan kebebasan fisik lagi sebab telah berubah menjadi lebih stabil mental dan kokoh hatinya setelah membaca buku Bread for Friends.

Tidak hanya berhenti disitu, saya kaget menerima undangan untuk tampil di acara yang sering sekali saya ingin ada di dalamnya. Buku Bread for Friends ditampilkan dan saya dikenalkan dalam acara Kick Andy Show di Metro TV. Buku itupun direkomendasikan kepada jutaan pemirsa Metro TV dan mungkin itu pula salah satu pemberi pengaruh mengapa buku itu selalu cepat habis di toko buku dan saat ini dicetak ulang kesekian kalinya. Bung Andy F Noya juga membeli 800 buku Bread for Friends untuk dibagikan kepada pemirsa Kick Andy Show yang hadir dalam shooting untuk tayangan 3 dan 5 juni 2011. Ada yang bertanya berapa saya bayar sehingga buku Bread for Friends tanpil di KickAndyShow? Bagaimana saya membayar sesuatu yang saya sendiri dipanggil pada saat tidak memikirkannya lagi.

Ok, kembali lagi saya tekankan, bahwa bukan berhasilnya buku Bread for Friends yang menjadi inti dari cerita perjalanan itu, namun bagaimana sebuah impian pada akhirnya bukan lagi impian, tetapi menjadi sebuah kenyataan yang melebihi hal yang diimpikan.

Mundur lagi ke belakang pada masa kecil. Saya pernah membaca sebuah surat kabar lokal Sumatera Utara. Masa itu adalah masa saya masih SD dan melihat sebuah gambar seorang penyanyi yang sedang berfoto di atas makan Mozart. Awalnya saya tidak begitu mengetahui siapa itu Mozart, namun dengan narasi yang cukup lengkap di koran itu membuat saya mengerti sedikit tentang Mozart dan kontan saja ada rasa mengagumi karya-karyanya dan seiring perjalanan hidup saya sering menikmati lagu-lagu klasik Mozart dan para komposer lain yang sudah mendunia.

Khusus untuk cerita ini, saya ingin memberitahu bahwa pada saat masa kecil itu, tepatnya setelah selesai membaca ulasan tentang karya Amadius Mozart itu, kontan saja saya, seroang anak desa yang ibunya buta huruf, ayahnya seorang guru SD, yang hidup di kampung layanan listrik saja belum ada, membaca surat kabar yang selalu telat 1 hari dikirim dari Medan, memiliki impian yang kuat mengunjungi sebuah negara di Eropha dan berfoto di atas makam Wolfgang Amadeus Mozart, yang wafat tahun 1791 itu. Satu kalimat sederhana yang begitu kuat dalam hati saya saat itu, sambil menunjuk foto itu adalah , “Suatu saat, saya akan berfoto di atas makam ini.” Dengan detail saya bayangkan saya berdiri di atas makam itu dengan tangan yang saya biarkan jatuh dan senyum yang menyapa alam disitu. Waktu itu saya belum begitu baik membaca peta dimana Austria dan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk perjalanan darat, laut atau udara ke Insbruck dari Tapanuli Utara.

Para sahabat tahu tidak? 25 tahun kemudian, tepatnya tahun 2004 silam, entah mengapa, pada kesempatan pertama saya mengunjungi Eropha, saya dikirim untuk melakukan studi singkat di Eropha Barat. Selain Jerman, Belanda, Italy, Perancis, Swiss, salah satu negara yang kami kunjungi adalah Austria. Saat itu, saya bahkan sudah lupa bahwa saya memiliki impian mengunjungi dan berfoto di atas makam Mozart yang dimakamkan di Insbruck – Austria. Lalu, singkat ceritanya, saat saya berada disana, saya berfoto berdiri seperti yang saya bayangkan dulu, 25 tahun lalu pernah saya bayangkan.

Impian itu menjadi kenyataan, entah bagaimana caranya. “Kenyataan itu tidak saya beli dengan uang, tetapi saya beli dengan keyakinan.” Demikian juga dengan kekuatan impian yang membawa saya mengunjungi Australia dan beberapa kota lain dalam kesempatan yang berbeda. Waktu saya awal-awal sebagai karyawan Telkom dan melihat dengan sangat dalam, saya berada di sebuah foto para pemimpin saya yang sedang berada di sebuah tempat bagus di Australia, saya katakan pada diri ini, “Kamu nanti perlu berada disana’.

Melalui tulisan ini, saya kurang mampu menjelaskan bagaimana proses sebuah impian bermetamorfosis menjadi sebuah kenyataan seperti beberapa hal yang saya alami dalam hidup saya pribadi. Namun kembali lagi kepada sebuah keinginan yang kuat untuk mengingatkan semua pembaca artikel ini, “Rasakanlah ketika sebuah impian Anda muncul dan hiduplah dalam impian itu dengan keyakinan Anda !”

Impian yang kuat akan membukakan gerbang dan jalan pencapaian yang terkadang tidak masuk akal, dan terkadang impian terlealisasi pada saat kita hampir lupa atau mungkin sudah lupa dengan impian itu.

Bangunlah impian Anda menjadi hidup dan hiduplah di atas impian itu dalam keseharian Anda melalui aktualisasi diri yang bermakna lewat karya-karya pembuka anugerah kebaikan hidup.

Kita tidak akan pernah memahami secara detail bagaimana segala sesuatu yang kita impikan itu akan terjadi. Disnilah perbedaan letak dari apa yang disebut dengan mimpi dan apa yang disebut dengan impian, yaitu pada KEKUATANNYA.

Sebelum menulis artikel ini, sejujurnya saya memiliki impian. “Saya membayangkan banyak sahabat sedang membaca artikel ini dan selanjutnya mereka akan membagikannya kepada orang-orang yang mereka cintai.”

Impian saya selanjutnya adalah menulis semakin banyak buku yang akan dibaca jutaan manusia Indonesia yang ingin memperbaiki hidupnya. Selamat memiliki impian dan merealisasikan impian-impian Anda !

InspiraMotiva by Lintong Simaremare

Penulis buku-buku inspirasi (Bread for Friends, Pieces of Keys at Work, Wisdom on the Wall)

Salam Smart Life
Joko Ristono

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rabu, 13 Januari 2016

The Power of Dream



Mumpung masih awal tahun, rasanya masih belum terlambat untuk kita menyusun RESOLUSI, menyusun Goals... bukankan sukses diawali dengan penetapan Mimpi... 
Berikut saya copy paste tulisan seorang penulis buku mengenai "power of dream". Semoga bermanfaat:

St.Augustine pernah mengatkan satu hal tentang keyakinan:
“Faith is something you do not yet see, the reward of the faith is to see what you believe”

Saya terjemahkan dalam bahasa sederhana, “Keyakinan adalah sesuatu yang tidak Anda lihat. Hasil dari meyakini adalah melihat apa yang Anda yakini.”

Kutipan dari St.Augustine itu begitu dalam memberikan makna nyata tentang keyakinan, setidaknya dalam kehidupan saya pribadi. Saya, tidak dalam kapasitas sebagai orang bijak seperti St. Augustine, namun berdasarkan pengalaman hidup, saya ingin menambah bahwa “Memiliki sebuah impian yang kuat dan kosistensi berkarya akan membuka jalan-jalan pencapaian yang tidak pernah terpikirkan”

Dalam artikel ini saya ingin berbagi pengalaman, sesuai judul artikel ini, tentang kekuatan sebuah impian (bukan mimpi, tetapi impian).

Sebelumnya saya perlu menyamakan persepsi dulu, bahwa mimpi dan impian yang saya maksud itu berbeda. Mimpi adalah produk ketidak sadaran dan berada di dalam area yang tidak bisa kita kendalikan, misalnya ketika kita sedang tibur. Sedanghkan IMPIAN adalah produk dari keinginan sadar yang ingin kita wujudkan. Jadi mari kita terjemahkan dream yang dimaksud dalam artikel ini adalah impian, bukan mimpi. Ijinkan saya memulai cerita saya ya sobat !

Billboard
Dalam beberapa kesempatan, ketika melihat sebuah billboard, saya pernah berpikir dan bertanya kepada diri sendiri, “Apa yang menjadikan foto seseorang bisa terpampang namplakdalam sebuah baliho atau billboard yang segede gabandi pinggir jalan ini?” tentunya saat itu saya tidak berpikir tentang seseorang yang dengan uangnya mampu menyewa sebuah tempat dan memasang fotonya sendiri seperti kampanye para caleg.Lalu pertanyaan itupun menjadi tertutup dengan pernyataan dalam diri, “Suatu saat, saya layak ditampilkan di billboard atau baliho semacam itu”, meskipun saat itu saya tidak mengerti caranya dan tidak mempunyai peta untuk itu.Pikiran itupun berlalu tanpa jawaban yang pasti. Lalu, baru-baru ini, saya kaget ‘setengah mati’ ketika ada seorang penanggungjawab dari sebuah institusi pendidikan meminta saya mau difoto bersama dengan seorang dosen berkewarganegaraan Amerika yang bertugas di Indonesia. Tujuan dari pemotretan itu adalah sebuah foto besar yang akan dimuat di sebuah billboard di pinggir jalan besar, di titik simpang 6 di kota Semarang, di seberang Paragon Mall. Singkat cerita, pada Selasa, tanggal 4 Juli 2012, saya menyaksikan billboard itu, hampir tidak percaya bahwa yang ada di billboard itu adalah saya.

Jujur, saya bangga menjadi bintang iklan sekarang, setidaknya untuk satu bulan ke depan, foto saya terpampang di sebuah billboard di jalan besar salah satu pusat keramaian di kota Semarang, dimana saya tinggal. Namun bukan perihal kebanggaan itu yang ingin saya ceritakan.

Dulu, sejak mengenal ada aplikasi mainan yang disebut fotofunia, setiap orang bisa bermain-main memilih sebuah gambar dirinya sendiri dan secepat kilat dia bisa membuat foto profil dengan fotonya terpampang di sebuah baliho atau billboard atau di dinding sebuah gedung besar, sedang diperhatikan banyak orang. Namun itu tidak nyata, artinya hanya sebuah rekayasa gambar yang baliho atau billboard yang dimaksud memang tidak ada. Nah kalau dulu bermain fotofunia, sekarang menjadi nyata. Bukan lagi gambar rekayasa tetapi beneran saya sekarang kalau jalan melintasi jalan pemuda, dapat menyaksikan foto dengan billboard ukuran 5×10 meter dan itu adalah foto saya dengan dosen dari Amerika yang tadi saya ceritakan. Jadi sebut saja saat ini saya mulai menjadi bintang iklan.

Saya ingin melanjutkan cerita ini dengan mundur ke belakang perjalanan hidup saya. Maaf, sebut saja agak sedikit narsis dalam hal ini, dan saya tidak akan menyalahkan Anda.

Ceritanya begini:
Tiga tahun silam saya menulis sebuah buku, judulnya Bread for Friends. Buku itu berisi 50 inspirasi yang saya maksudkan memberikan nutrisi mental dan membuat pembacanya kelak mengalami hidup yang progresif. Hal yang saya bayangkan adalah, buku itu akan dibaca puluhan ribu orang dan orang itu membawanya kemana-mana dan buku itu juga diumumkan kepada ribuan orang yang membutuhkan bacaan-bacaan positif untuk perbaikan perspektif kehidupan.

Lalu, waktunya tidak lama berselang, tepatnya setelah dua tahun bekerja keras bahkan ditolak puluhan penerbit, sampai akhirnya jatuh ke penerbit ke-33, draft buku itupun dibukukan dan dalam 3 bulan menjadi buku best seller yang penjualannya melebih apa yang pernah saya bayangkan bahkan saat ini pada bulan ke 13, buku itu masih best seller dan menghasilkan royalti yang jumlahnya jauh lebih besar dari yang saya bayangkan.

Khusus tentang buku pertama saya itu, banyak cerita yang bisa saya ceritakan. Salah satunya adalah ketika duduk di salah satu kursi dalam gerbong kereta, orang di sebelah kita sedang membaca buku yang kita tulis. Perasaan kala itu tidak bisa saya lukiskan dengan kata-kata. Cerita lain adalah orang yang sedang dipenjara, yang sementara diputuskan tidak akan mendapatkan kebebasan, namun bercerita tidak terlalu memikirkan kebebasan fisik lagi sebab telah berubah menjadi lebih stabil mental dan kokoh hatinya setelah membaca buku Bread for Friends.

Tidak hanya berhenti disitu, saya kaget menerima undangan untuk tampil di acara yang sering sekali saya ingin ada di dalamnya. Buku Bread for Friends ditampilkan dan saya dikenalkan dalam acara Kick Andy Show di Metro TV. Buku itupun direkomendasikan kepada jutaan pemirsa Metro TV dan mungkin itu pula salah satu pemberi pengaruh mengapa buku itu selalu cepat habis di toko buku dan saat ini dicetak ulang kesekian kalinya. Bung Andy F Noya juga membeli 800 buku Bread for Friends untuk dibagikan kepada pemirsa Kick Andy Show yang hadir dalam shooting untuk tayangan 3 dan 5 juni 2011. Ada yang bertanya berapa saya bayar sehingga buku Bread for Friends tanpil di KickAndyShow? Bagaimana saya membayar sesuatu yang saya sendiri dipanggil pada saat tidak memikirkannya lagi.

Ok, kembali lagi saya tekankan, bahwa bukan berhasilnya buku Bread for Friends yang menjadi inti dari cerita perjalanan itu, namun bagaimana sebuah impian pada akhirnya bukan lagi impian, tetapi menjadi sebuah kenyataan yang melebihi hal yang diimpikan.

Mundur lagi ke belakang pada masa kecil. Saya pernah membaca sebuah surat kabar lokal Sumatera Utara. Masa itu adalah masa saya masih SD dan melihat sebuah gambar seorang penyanyi yang sedang berfoto di atas makan Mozart. Awalnya saya tidak begitu mengetahui siapa itu Mozart, namun dengan narasi yang cukup lengkap di koran itu membuat saya mengerti sedikit tentang Mozart dan kontan saja ada rasa mengagumi karya-karyanya dan seiring perjalanan hidup saya sering menikmati lagu-lagu klasik Mozart dan para komposer lain yang sudah mendunia.

Khusus untuk cerita ini, saya ingin memberitahu bahwa pada saat masa kecil itu, tepatnya setelah selesai membaca ulasan tentang karya Amadius Mozart itu, kontan saja saya, seroang anak desa yang ibunya buta huruf, ayahnya seorang guru SD, yang hidup di kampung layanan listrik saja belum ada, membaca surat kabar yang selalu telat 1 hari dikirim dari Medan, memiliki impian yang kuat mengunjungi sebuah negara di Eropha dan berfoto di atas makam Wolfgang Amadeus Mozart, yang wafat tahun 1791 itu. Satu kalimat sederhana yang begitu kuat dalam hati saya saat itu, sambil menunjuk foto itu adalah , “Suatu saat, saya akan berfoto di atas makam ini.” Dengan detail saya bayangkan saya berdiri di atas makam itu dengan tangan yang saya biarkan jatuh dan senyum yang menyapa alam disitu. Waktu itu saya belum begitu baik membaca peta dimana Austria dan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk perjalanan darat, laut atau udara ke Insbruck dari Tapanuli Utara.

Para sahabat tahu tidak? 25 tahun kemudian, tepatnya tahun 2004 silam, entah mengapa, pada kesempatan pertama saya mengunjungi Eropha, saya dikirim untuk melakukan studi singkat di Eropha Barat. Selain Jerman, Belanda, Italy, Perancis, Swiss, salah satu negara yang kami kunjungi adalah Austria. Saat itu, saya bahkan sudah lupa bahwa saya memiliki impian mengunjungi dan berfoto di atas makam Mozart yang dimakamkan di Insbruck – Austria. Lalu, singkat ceritanya, saat saya berada disana, saya berfoto berdiri seperti yang saya bayangkan dulu, 25 tahun lalu pernah saya bayangkan.

Impian itu menjadi kenyataan, entah bagaimana caranya. “Kenyataan itu tidak saya beli dengan uang, tetapi saya beli dengan keyakinan.” Demikian juga dengan kekuatan impian yang membawa saya mengunjungi Australia dan beberapa kota lain dalam kesempatan yang berbeda. Waktu saya awal-awal sebagai karyawan Telkom dan melihat dengan sangat dalam, saya berada di sebuah foto para pemimpin saya yang sedang berada di sebuah tempat bagus di Australia, saya katakan pada diri ini, “Kamu nanti perlu berada disana’.

Melalui tulisan ini, saya kurang mampu menjelaskan bagaimana proses sebuah impian bermetamorfosis menjadi sebuah kenyataan seperti beberapa hal yang saya alami dalam hidup saya pribadi. Namun kembali lagi kepada sebuah keinginan yang kuat untuk mengingatkan semua pembaca artikel ini, “Rasakanlah ketika sebuah impian Anda muncul dan hiduplah dalam impian itu dengan keyakinan Anda !”

Impian yang kuat akan membukakan gerbang dan jalan pencapaian yang terkadang tidak masuk akal, dan terkadang impian terlealisasi pada saat kita hampir lupa atau mungkin sudah lupa dengan impian itu.

Bangunlah impian Anda menjadi hidup dan hiduplah di atas impian itu dalam keseharian Anda melalui aktualisasi diri yang bermakna lewat karya-karya pembuka anugerah kebaikan hidup.

Kita tidak akan pernah memahami secara detail bagaimana segala sesuatu yang kita impikan itu akan terjadi. Disnilah perbedaan letak dari apa yang disebut dengan mimpi dan apa yang disebut dengan impian, yaitu pada KEKUATANNYA.

Sebelum menulis artikel ini, sejujurnya saya memiliki impian. “Saya membayangkan banyak sahabat sedang membaca artikel ini dan selanjutnya mereka akan membagikannya kepada orang-orang yang mereka cintai.”

Impian saya selanjutnya adalah menulis semakin banyak buku yang akan dibaca jutaan manusia Indonesia yang ingin memperbaiki hidupnya. Selamat memiliki impian dan merealisasikan impian-impian Anda !

InspiraMotiva by Lintong Simaremare

Penulis buku-buku inspirasi (Bread for Friends, Pieces of Keys at Work, Wisdom on the Wall)

Salam Smart Life
Joko Ristono

Tidak ada komentar:

Posting Komentar