Selasa, 10 Juli 2012

Driver Mentality, miliki mental Driver bukan Penumpang



Di kegiatan apel pagi ini, salah seorang pembicara menyampaikan materi yang luar biasa meng-inspirasi kita. Bapak Nyoman Tri Armawan menyampaikan hal mengenai "Driver Mentality"

Bangsa yang hebat adalah a driver nation. "Driver nation" sendiri hanya bisa dihasilkan oleh pribadi-pribadi yang disebut "driver”. Jadi ada tiga hal yang harus dilakukan yaitu bagaimana men-drive diri sendiri (drive your self), men-drive orang lain (bawahan, staf atau drive your people), dan men-drive bangsa (drive your nation). Jadi "driver" itu apa? Bukankah di Indonesia ada jutaan orang yang berprofesi sebagai sopir? Kalau demikian bisakah Indonesia disebut sebagai a driver nation?
hahahahahah

Tentu bukan itu maksudnya. Driver adalah sebuah sikap hidup yang membedakan dirinya dengan "passenger". Anda tinggal memilih, ingin duduk manis, menjadi penumpang di belakang, atau mengambil resiko sebagai driver di depan. Duduk di belakang, Anda boleh duduk sambil ngobrol, makan-makan, bercanda, bahkan ngantuk dan tertidur. Anda juga tak harus tahu jalan, tak perlu memikirkan keadaan lalu lintas dan tak perlu merawat kendaraan.

Arah dan Resiko

Driver
menentukan arah, membawa penumpang-penumpangnya ke tempat tujuan dan mengambil resiko. Itulah yang saya maksud dengan sikap mental seorang driver.  Menjadi sopir sendiri belum tentu memiliki kapasitas mental seorang driver. Banyak driver yang bekerja mengeluh dan jenuh karena tak punya pilihan.  Driver mentality adalah sebuah kesadaran yang dibentuk oleh pengalaman dan pendidikan. Bukan karena tidak punya pilihan.

Pendidikan yang dimaksud adalah proses belajar, yaitu bagaimana seseorang memperbaiki cara berpikirnya. Banyak orang yang kuliah dan menjadi sarjana, tetapi mereka tidak "belajar". Menghafal bukanlah berpikir, sedangkan belajar artinya adalah berpikir.
Driver adalah orang yang berpikir. Sedangkan penumpang adalah orang yang tidak perlu berpikir sepanjang perjalanan. Driver memikirkan bagaimana mencapai tujuan tepat waktu, selamat dan perjalanan menyenangkan.

Bagaimana Anda bisa berpikir kalau Anda tidak berani mengambil resiko? Saya tidak pernah mendengar penumpang mobil ditangkap karena "mobilnya" menabrak orang sampai tewas. Yang kita baca, sopirnyalah yang ditangkap. Menjadi
driver adalah mengekspos diri terhadap resiko. Tetapi dari jutaan orang yang mengemudi, ternyata hanya kurang dari 0,1% yang ternyata menabrak dan menimbulkan kecelakaan fatal. Dari 0,1% itu, yang terbesar disebabkan oleh alkohol dan mengantuk.

Sopir yang menghafal punya kecenderungan mengikuti jalan yang sama setiap hari. Itu sebabnya saya mengatakan menghafal bukanlah cara berpikir yang baik. Sekali jalan dan dirasakan pas, sopir yang menghafal akan melewati jalan yang sama. Lama-lama ia merasa nyaman dan takut mengambil jalan lain. Tetapi jalan yang sama mengalami perubahan. Di jalan yang kita lewati kini dibangun sebuah gedung SLTA, lalu disebelahnya ada gedung SMP. Beberapa meter dari situ ada gedung-gedung perkantoran. Lalu sekitar 2 kilometer ada mal besar baru dan seterusnya. Ketika jalan yang kita lewati berubah, pikiran manusia yang menghafal tidak berubah. Hafalannya tetap sama.


Apa yang akan dilakukan sopir yang menghafal jalan yang sama? Sudah pasti bersabar diri, mengumpat atau menyalahkan walikota atau gubernur. Tak ada orang yang menyalahkan cara berpikirnya sendiri. Padahal siapa bilang tidak ada jalan lain? Ke Roma saja pintu masuknya ada banyak. Di Indonesia ada jutaan jalan tikus yang bisa Anda tembus dengan objek atau melintasi jalan-jalan kampung yang sempit tapi bisa dilewati. Pilihannya ada banyak, tetapi memulainya tidak mudah. Jalan-jalan baru itu memusingkan, banyak jalan buntu. Dan seorang yang enggan mencobanya menyebut itu sebagai
a dead end (jalan mati). Padahal jalan buntu bagi seorang driver adalah sebuah detour (perputaran). Tidak enak memang. Tetapi lama-lama Anda akan merasakan manfaatnya.

Mengapa manusia terdidik tidak melakukan seperti itu?

Itulah "passenger" mentality. Kita telah berubah menjadi bangsa yang nyaman. Kita takut kesasar seperti Columbus. Padahal Columbus sendiri, saat ditertawakan rekan-rekannya yang sampai ke Afrika Selatan dan India mengatakan begini: "Kalau tak pernah berani kesasar, kalian tak akan pernah menemukan jalan baru."
Ketika manusia sudah takut melakukan "kesalahan" maka ia akan masuk kedalam perangkap mentalitas penumpang. Sekolah tak boleh mendidik anak-anaknya takut mengambil kesalahan dengan pendidikan hafalan. Sebab orang-orang yang tak pernah melakukan kesalahan sesungguhnya adalah orang yang tak berbuat apa-apa. He/she did nothing, has nothing and is nothing.

Lantas bisakah orang-orang yang tak berpendidikan tinggi menjadi
driver?
Tentu saja bisa. Hanya saja kapasitasnya terbatas. Seorang driver tidak cukup hanya bermodalkan tekad dan semangat. Cara berpikir yang tepat adalah modal penting. Tetapi driver yang hebat juga butuh referensi-referensi yang kuat. Kita perlu menghubungkan satu referensi dengan referensi yang lainnya. Dalam bahasa creative thinker (pemikir kreatif) ini disebut: connecting the dots. Jadi perbaiki dulu cara berpikir, perbaiki otak para sarjana dan otak anak-anak sedari balita. Dari situ kita baru bisa bicara tentang a driver nation


Nyoman Tri A
Salam SmartLife
Nyoman Tri Armawan


sumber : Nyoman Tri A + Rhenald Kasali blog

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Selasa, 10 Juli 2012

Driver Mentality, miliki mental Driver bukan Penumpang



Di kegiatan apel pagi ini, salah seorang pembicara menyampaikan materi yang luar biasa meng-inspirasi kita. Bapak Nyoman Tri Armawan menyampaikan hal mengenai "Driver Mentality"

Bangsa yang hebat adalah a driver nation. "Driver nation" sendiri hanya bisa dihasilkan oleh pribadi-pribadi yang disebut "driver”. Jadi ada tiga hal yang harus dilakukan yaitu bagaimana men-drive diri sendiri (drive your self), men-drive orang lain (bawahan, staf atau drive your people), dan men-drive bangsa (drive your nation). Jadi "driver" itu apa? Bukankah di Indonesia ada jutaan orang yang berprofesi sebagai sopir? Kalau demikian bisakah Indonesia disebut sebagai a driver nation?
hahahahahah

Tentu bukan itu maksudnya. Driver adalah sebuah sikap hidup yang membedakan dirinya dengan "passenger". Anda tinggal memilih, ingin duduk manis, menjadi penumpang di belakang, atau mengambil resiko sebagai driver di depan. Duduk di belakang, Anda boleh duduk sambil ngobrol, makan-makan, bercanda, bahkan ngantuk dan tertidur. Anda juga tak harus tahu jalan, tak perlu memikirkan keadaan lalu lintas dan tak perlu merawat kendaraan.

Arah dan Resiko

Driver
menentukan arah, membawa penumpang-penumpangnya ke tempat tujuan dan mengambil resiko. Itulah yang saya maksud dengan sikap mental seorang driver.  Menjadi sopir sendiri belum tentu memiliki kapasitas mental seorang driver. Banyak driver yang bekerja mengeluh dan jenuh karena tak punya pilihan.  Driver mentality adalah sebuah kesadaran yang dibentuk oleh pengalaman dan pendidikan. Bukan karena tidak punya pilihan.

Pendidikan yang dimaksud adalah proses belajar, yaitu bagaimana seseorang memperbaiki cara berpikirnya. Banyak orang yang kuliah dan menjadi sarjana, tetapi mereka tidak "belajar". Menghafal bukanlah berpikir, sedangkan belajar artinya adalah berpikir.
Driver adalah orang yang berpikir. Sedangkan penumpang adalah orang yang tidak perlu berpikir sepanjang perjalanan. Driver memikirkan bagaimana mencapai tujuan tepat waktu, selamat dan perjalanan menyenangkan.

Bagaimana Anda bisa berpikir kalau Anda tidak berani mengambil resiko? Saya tidak pernah mendengar penumpang mobil ditangkap karena "mobilnya" menabrak orang sampai tewas. Yang kita baca, sopirnyalah yang ditangkap. Menjadi
driver adalah mengekspos diri terhadap resiko. Tetapi dari jutaan orang yang mengemudi, ternyata hanya kurang dari 0,1% yang ternyata menabrak dan menimbulkan kecelakaan fatal. Dari 0,1% itu, yang terbesar disebabkan oleh alkohol dan mengantuk.

Sopir yang menghafal punya kecenderungan mengikuti jalan yang sama setiap hari. Itu sebabnya saya mengatakan menghafal bukanlah cara berpikir yang baik. Sekali jalan dan dirasakan pas, sopir yang menghafal akan melewati jalan yang sama. Lama-lama ia merasa nyaman dan takut mengambil jalan lain. Tetapi jalan yang sama mengalami perubahan. Di jalan yang kita lewati kini dibangun sebuah gedung SLTA, lalu disebelahnya ada gedung SMP. Beberapa meter dari situ ada gedung-gedung perkantoran. Lalu sekitar 2 kilometer ada mal besar baru dan seterusnya. Ketika jalan yang kita lewati berubah, pikiran manusia yang menghafal tidak berubah. Hafalannya tetap sama.


Apa yang akan dilakukan sopir yang menghafal jalan yang sama? Sudah pasti bersabar diri, mengumpat atau menyalahkan walikota atau gubernur. Tak ada orang yang menyalahkan cara berpikirnya sendiri. Padahal siapa bilang tidak ada jalan lain? Ke Roma saja pintu masuknya ada banyak. Di Indonesia ada jutaan jalan tikus yang bisa Anda tembus dengan objek atau melintasi jalan-jalan kampung yang sempit tapi bisa dilewati. Pilihannya ada banyak, tetapi memulainya tidak mudah. Jalan-jalan baru itu memusingkan, banyak jalan buntu. Dan seorang yang enggan mencobanya menyebut itu sebagai
a dead end (jalan mati). Padahal jalan buntu bagi seorang driver adalah sebuah detour (perputaran). Tidak enak memang. Tetapi lama-lama Anda akan merasakan manfaatnya.

Mengapa manusia terdidik tidak melakukan seperti itu?

Itulah "passenger" mentality. Kita telah berubah menjadi bangsa yang nyaman. Kita takut kesasar seperti Columbus. Padahal Columbus sendiri, saat ditertawakan rekan-rekannya yang sampai ke Afrika Selatan dan India mengatakan begini: "Kalau tak pernah berani kesasar, kalian tak akan pernah menemukan jalan baru."
Ketika manusia sudah takut melakukan "kesalahan" maka ia akan masuk kedalam perangkap mentalitas penumpang. Sekolah tak boleh mendidik anak-anaknya takut mengambil kesalahan dengan pendidikan hafalan. Sebab orang-orang yang tak pernah melakukan kesalahan sesungguhnya adalah orang yang tak berbuat apa-apa. He/she did nothing, has nothing and is nothing.

Lantas bisakah orang-orang yang tak berpendidikan tinggi menjadi
driver?
Tentu saja bisa. Hanya saja kapasitasnya terbatas. Seorang driver tidak cukup hanya bermodalkan tekad dan semangat. Cara berpikir yang tepat adalah modal penting. Tetapi driver yang hebat juga butuh referensi-referensi yang kuat. Kita perlu menghubungkan satu referensi dengan referensi yang lainnya. Dalam bahasa creative thinker (pemikir kreatif) ini disebut: connecting the dots. Jadi perbaiki dulu cara berpikir, perbaiki otak para sarjana dan otak anak-anak sedari balita. Dari situ kita baru bisa bicara tentang a driver nation


Nyoman Tri A
Salam SmartLife
Nyoman Tri Armawan


sumber : Nyoman Tri A + Rhenald Kasali blog

Tidak ada komentar:

Posting Komentar