Senin, 18 Juni 2012

I'll Do My Best - Sujiwo Tejo

Kalimat Inggris yang menyentak perhatian saya ketika pertama mendengarnya adalah "I'll do my best".

   
Wuiiiih.... I'll do my best.
   
Kesan saya gimanaaa gitu.
       
Dalam tradisi Jawa, dan mungkin juga dalam beberapa tradisi lain di Nusantara, jika kita membayangkan sanggup 100 persen, yang kita janjikan cuma 50 persen. Sisanya kita siapkan untuk mbikin kejutan di akhir pekerjaan.

Maka jawaban mereka kalau diberi tugas atau sekadar disandari harapan oleh orang lain adalah, "Sagah dereng kinanten, selak mbok menawi sagah" (Saya belum tentu sanggup. Saya ingin menghindar, tapi siapa tahu saya sanggup). 

Hehehe...Bingung ya? Saya sendiri juga bingung terhadap terjemahan Bahasa Indonesia saya yang buruk itu. Maka lupakan saduran tersebut. Yang penting kembali ke inti. Kita tidak ngasih harapan sebesar "I'll do my best".
  
Intinya, kesanggupan yang terucap tak sebesar kandungan kesanggupan di dalam hati. Kesanggupan dalam hatinya tetaplah besar, karena ia selalu terngiang-ngiang ucapan Muhammad Ali. Kemampuan teknis sangatlah penting di berbagai bidang. But the will must be stronger than the skill. Pecatur Anatoly Karpov dan petenis Steffi Graf pun berprinsip serupa.
  
Janji yang diucapkan boleh cuma 50 persen dari target. Namun impian sebenarnya 100 persen bahkan mungkin lebih. Karena, seperti diwanti-wantikan oleh perenang Michael Phelps, semakin jauh kau bermimpi, semakin jauh pula yang bakal kau raih.
  
Sebesar apakah kesanggupan atau mimpi yang tak terucap itu sehingga hasil kongkretnya melampaui ucapan? Sebesar gunung? Bumi? Matahari?
  
Ah, lebih enak memakai ukuran imajiner. Mungkin sebesar kesanggupan dan mimpi pebasket Michael Jordan sehingga terus berusaha dan berusaha. Dalam karirnya ia meleset lebih dari 9.000 "tembakan", kalah dalam hampir 300 pertandingan, gagal dalam 26 "tembakan" penentu kemenangan timnya.
  
Mungkin dalam kalimat politisi Sir Winston Churcill maupun pendiri Apple Steve Jobs, Michael Jordan sedang menjalani kegagalan demi kegagalan tanpa kehilangan antusiasme. Itu pula yang membuat Kenny G diakui tiupan saksofonnya setelah luntang-lantung bertahun-tahun.
  
Tapi zaman berubah. Pada akhirnya di Timur sendiri "Sagah dereng kinanten, selak mbok menawi sagah" telah bergeser menjadi  "I'll do my best". Bahkan kita melebihi "I'll do my best". Lihat saja janji-janji kampanye yang pada berlambungan itu.
  
Tapi apa betul dalam hidup kita cuma sanggup mendengar atau melihat muluknya janji-janji. Sehingga kini model kesanggupan macam "Siaaap", "Berangkat" dan sejenisnya lebih laku ketimbang "Saya belum tentu sanggup. Saya ingin menghindar, tapi siapa tahu saya sanggup..."
      
Ingat kata-kata Semar kepada istrinya, Dewi Kanastren, "Kita beruntung. Orang lain jatuh cinta karena saling melihat janji-janji kebaikan masing-masing. Kita jatuh cinta justru karena membayangkan kejelekan masing-masing."
  
Area dan Sampeyan mungkin adalah Semar dan Dewi Kanastren. Kali ini majalah Area menyajikan janji-janji yang terbaik dari berbagai bidang, bukan untuk bacaan Sampeyan. Cuma jaga-jaga, siapa tahu majalah ini kebaca oleh teman-teman Sampeyan, yang levelnya baru ingin melihat janji-janji baik, belum sanggup melihat hal-hal yang seolah tak menjanjikan.

*Sujiwo Tejo tinggal di www.sujiwotejo.com / twitter @sudjiwotedjo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Senin, 18 Juni 2012

I'll Do My Best - Sujiwo Tejo

Kalimat Inggris yang menyentak perhatian saya ketika pertama mendengarnya adalah "I'll do my best".

   
Wuiiiih.... I'll do my best.
   
Kesan saya gimanaaa gitu.
       
Dalam tradisi Jawa, dan mungkin juga dalam beberapa tradisi lain di Nusantara, jika kita membayangkan sanggup 100 persen, yang kita janjikan cuma 50 persen. Sisanya kita siapkan untuk mbikin kejutan di akhir pekerjaan.

Maka jawaban mereka kalau diberi tugas atau sekadar disandari harapan oleh orang lain adalah, "Sagah dereng kinanten, selak mbok menawi sagah" (Saya belum tentu sanggup. Saya ingin menghindar, tapi siapa tahu saya sanggup). 

Hehehe...Bingung ya? Saya sendiri juga bingung terhadap terjemahan Bahasa Indonesia saya yang buruk itu. Maka lupakan saduran tersebut. Yang penting kembali ke inti. Kita tidak ngasih harapan sebesar "I'll do my best".
  
Intinya, kesanggupan yang terucap tak sebesar kandungan kesanggupan di dalam hati. Kesanggupan dalam hatinya tetaplah besar, karena ia selalu terngiang-ngiang ucapan Muhammad Ali. Kemampuan teknis sangatlah penting di berbagai bidang. But the will must be stronger than the skill. Pecatur Anatoly Karpov dan petenis Steffi Graf pun berprinsip serupa.
  
Janji yang diucapkan boleh cuma 50 persen dari target. Namun impian sebenarnya 100 persen bahkan mungkin lebih. Karena, seperti diwanti-wantikan oleh perenang Michael Phelps, semakin jauh kau bermimpi, semakin jauh pula yang bakal kau raih.
  
Sebesar apakah kesanggupan atau mimpi yang tak terucap itu sehingga hasil kongkretnya melampaui ucapan? Sebesar gunung? Bumi? Matahari?
  
Ah, lebih enak memakai ukuran imajiner. Mungkin sebesar kesanggupan dan mimpi pebasket Michael Jordan sehingga terus berusaha dan berusaha. Dalam karirnya ia meleset lebih dari 9.000 "tembakan", kalah dalam hampir 300 pertandingan, gagal dalam 26 "tembakan" penentu kemenangan timnya.
  
Mungkin dalam kalimat politisi Sir Winston Churcill maupun pendiri Apple Steve Jobs, Michael Jordan sedang menjalani kegagalan demi kegagalan tanpa kehilangan antusiasme. Itu pula yang membuat Kenny G diakui tiupan saksofonnya setelah luntang-lantung bertahun-tahun.
  
Tapi zaman berubah. Pada akhirnya di Timur sendiri "Sagah dereng kinanten, selak mbok menawi sagah" telah bergeser menjadi  "I'll do my best". Bahkan kita melebihi "I'll do my best". Lihat saja janji-janji kampanye yang pada berlambungan itu.
  
Tapi apa betul dalam hidup kita cuma sanggup mendengar atau melihat muluknya janji-janji. Sehingga kini model kesanggupan macam "Siaaap", "Berangkat" dan sejenisnya lebih laku ketimbang "Saya belum tentu sanggup. Saya ingin menghindar, tapi siapa tahu saya sanggup..."
      
Ingat kata-kata Semar kepada istrinya, Dewi Kanastren, "Kita beruntung. Orang lain jatuh cinta karena saling melihat janji-janji kebaikan masing-masing. Kita jatuh cinta justru karena membayangkan kejelekan masing-masing."
  
Area dan Sampeyan mungkin adalah Semar dan Dewi Kanastren. Kali ini majalah Area menyajikan janji-janji yang terbaik dari berbagai bidang, bukan untuk bacaan Sampeyan. Cuma jaga-jaga, siapa tahu majalah ini kebaca oleh teman-teman Sampeyan, yang levelnya baru ingin melihat janji-janji baik, belum sanggup melihat hal-hal yang seolah tak menjanjikan.

*Sujiwo Tejo tinggal di www.sujiwotejo.com / twitter @sudjiwotedjo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar